Ucapan tokoh oposisi MyanÂmar itu, bakal terÂkabul jika partai politik yang mengusungnya meÂmenangkan pemilu legislatif pada 2015. Tak disangka, di usiaÂnya yang sudah menginjak 67 tahun, Suu Kyi masih meÂmenÂÂdam keÂinginan berkuasa.
“Setiap pemimpin partai harus siap untuk kemungkinan ini (meÂÂmimpin negara) jika dia beÂnar-benar meyakini proses demoÂkrasi,†kata Suu Kyi di Prancis, negara terÂakhir yang dia datangi di Benua Biru.
Hal itu diungkapkan sang PeÂraih Nobel Perdamaian, saat dia menyampaikan kebahagiaan atas sambutan hangat yang dia teÂrima dalam tur ke lima negara.
“Tapi itu bukan sesuatu yang saya pikirkan sepanjang waktu. Bahkan, saya pikir kita harus berÂkonsentrasi pada pekerjaan ini, tentu saja mempersiapkan untuk masa depan,†imbuh Suu Kyi kepada AFP.
Suu Kyi tiba di Paris, Selasa (26/6) untuk kunjungan tiga hari, negara Eropa terakhir dari 17 hari lawatannya, untuk mencari duÂkuÂngan ekonomi dan politik bagi transisi demokrasi di Myanmar.
Perjalanan Suu Kyi dilakukan dua bulan setelah partainya, Liga NaÂsional untuk Demokrasi (NLD), memenangkan besar-beÂsaran pemilu sela pada April, seÂmentara Suu Kyi memenangkan kursi DPR dengan konstituen daerah KawhÂmu Yangon.
Aung San Suu Kyi mendapat jaminan dari Presiden Francois Hollande bahwa Paris akan menÂdÂuÂkung upaya perubahannya. HoÂllanÂÂde menambahkan, Paris siap meÂnyambut Presiden pemÂbaru Thein Sein jika dia ingin berÂkunjung.
“Saya menegaskan bahwa PranÂcis akan mendukung semua peÂmain dalam peralihan demoÂkratik Myanmar dan akan meÂlaÂkukan segala yang mungkin deÂngan EroÂpa Bersatu, sehingga upaya itu berjalan sampai akhir,†kata HoÂllanÂde pada jumpa pers berÂsaÂma dengan Suu Kyi di Istana Elysee.
Pada hari kedua kunjungannya ke Prancis, Suu Kyi dijadikan warga kehormatan Paris dan berÂtemu dengan Menteri Luar Negeri LauÂrent Fabius. Suu Kyi akan kembali ke tanah airnya pada Sabtu (30/6).
Suu Kyi dibebaskan dari ham-pir dua dasawarsa tahanan rumah pada November 2010 dan menÂjadi anggota parlemen pada awal tahun ini sebagai bagian dari perÂalihan bertahap menuju deÂmoÂkrasi di negara Asia Tenggara itu.
“Kami perlu demokrasi dan pemÂbÂangunan ekonomi. PemÂbangunan tidak dapat mengganti demokrasi, tapi harus digunakan untuk memperkuat dasar demoÂkrasi,†kata Suu Kyi.
Ditegur
Suu Kyi mendapat teguran dari peÂmerintahnya karena telah meÂnyebut negaranya dengan nama “Burma.†Suu Kyi diminta meÂnyebut nama seluruh negara Asia Tenggara sesuai dengan namaÂnya. Yaitu: Myanmar.
Komisi Pemilu Myanmar meÂnyayangkan, Suu Kyi menyebut negaranya dengan nama Burma saat mengadakan perjalanan ke Swiss, Norwegia, Inggris, IrlanÂdia dan Prancis.
Junta militer mengubah nama Burma menjadi Myanmar pada 1989, namun oposisi dan warga Myanmar yang ada di peÂngÂasingan masih menyebut neÂgaÂraÂnya dengan nama “Burma.†PeÂnyebutan nama Burma dinilai sebagai tanda protes.
Dalam konstitusi yang diÂumumkan junta militer pada 2010, nama Burma diubah menÂjadi Republik Kesatuan MyanÂmar. Nama Burma merupakan nama yang diberikan Inggris, yang menduduki Myanmar pada 1826 hingga 1948. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: