Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dua Kota di NZ yang Tenang dan Menenteramkan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yayan-sopyani-al-hadi-5'>YAYAN SOPYANI AL HADI</a>
OLEH: YAYAN SOPYANI AL HADI
  • Rabu, 06 Juni 2018, 14:38 WIB
Dua Kota di NZ yang Tenang dan Menenteramkan
Foto: Ist
ATAS undangan Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru Tantowi Yahya, saya, bersama jurnalis lain, terbang ke Selandia Baru. Di awal bulan Mei itu, kami terbang dari Bandara Soekarno Hata menuju Wellington, dengan transit di Bandara Sydney.

Tiba di Wellington, ibukota negara yang berada di Pulau Utara, di hari pertama di pekan kedua di bulan Mei kemarin, kami dijemput langsung oleh protokoler kedutaan.

Tak disangka, pegawai protokoler di kedutaan adalah teman saya. Sama-sama aktivis di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Namanya Hanif. Sekitar 10 tahun lalu, Hanif adalah aktivis IMM di Jakarta Timur. Sementara saya, aktif sebagai Ketua Umum IMM DKI Jakarta. Dunia memang sempit.

Dari Bandara Wellington, kami menuju hotel yang tepat berada di pusat kota. Sepanjang perjalanan selama 20 menit itu, ada pemandangan yang kerap ditemukan; orang bersepeda atau orang yang berlari di sepanjang jalan.

"Orang sini memang hobi naik sepeda dan lari. Itu merupakan bagian dari gaya hidup. Meski biaya rumah sakit ditanggung pemerintah, namun kesehatan tetap diutamakan,” ungkap Hanif, siang itu.

Tiba di hotel, kami langsung istirahat sekaligus siap-siap menerima jamuan makan malam dari Pak Dubes. Sekitar 2 jam kami istirahat dan mandi, mobil jemputan tiba. Orang yang jemput juga bukan orang asing; Mas Ritto. Selama ini Mas Rito senantiasa menenami Tantowi Yahya, sejak saat mengabdi di DPR.

Tantowi, yang menjabat Wakil Ketua Komisi I, yang menangani bidang pertahanan, keamanan, luar negeri dan informasi, dikenal sebagai anggota parlemen yang kritis. Gagasan, pandangan dan pikirannya yang terkait dengan pertahanan menghiasi sejumlah media massa.

Berada di dataran yang cukup tinggi, kantor kedutaan berada di 70 Glen Road, Kelburn, Wellington. Saat tiba, matahari sudah tenggelam. Matahari menutup diri lima jam mendahului Jakarta. Karena itu, kami belum bisa menikmati pemandangan Selandia Baru yang sangat populer di atas ketinggian.

Keindahan pemandangan Selandia Baru, yang kian dikenal karena menjadi tempat pembuatan film-film Hollywood seperti Lord of The Rings, The Hobbit, Wolverine, The Last Samurai dan Chronicles of Narnia.

Namun suasana benar-benar hangat dan akrab. Kami disambut langsung Tantowi dengan penuh persahabatan. Tangan terbuka dan senyum yang lebar Tantowi yang sangat khas. Kami langsung diajak ke ruangan kerjanya, dan berbincang sedikit soal perjalanan. Tak lupa, Tantowi mengisahkan juga perjalanan politiknya, termasuk saat di DPR.

Sekitar 30 menit berlalu. Kami langsung diajak ke sebuah ruangan. Ruangan ini dipenuhi interior kayu. Suasana terasa seakan di rumah orang Jawa.

"Ruangan ini di-design dengan gaya Mataraman,” ungkap Tantowi.

Di tangan Tantowi, kantor kedutaan ini memang dibikin bukan semacam kantor. Namun juga semacam galeri dan ruang kultural Indonesia. Kantor kedutaaan ini menjadi semacam etalase kebudayaan. Selain ada ruangan gaya Mataraman, juga ada ruangan dengan gaya Palembang; meja, kursi, lemari, kain khas Palembang memenuhi ruangan ini. Sementara di bagian depan, dengan ruangan yang lebih luas, adalah ruangan dengan gaya Bali.

"Bali ini penting, sebab orang tahunya Indonesia selama ini, ya Bali,” ungkap Tantowi.

Tantowi seakan-akan tak mau kami jetleg lidah. Kami pun dijamu dengan makanan khas nusantara; sate padang. Usai menikmati sate padang, kami ngobrol sekitar 3 jam. Cukup lama sebelum kami berpisah untuk istirahat. Isi obrolan macam-macam, terutama soal strategi kebudayaan dalam menjalin hubungan antar-negara. Tantowi yakin, dalam hal kebudayaan dan keseniaan, tak ada sekat sebagaimana sekat politik, sosial maupun geografis.

Dalam kesempatan ini juga, Tantowi menyampaikan soal kemajuan di Selandia Baru, terutama di bidang pengolahan energi terbarukan, peternakan dan manufaktur. Kemajuan di Selandia Baru ini bisa menjadi model untuk pengembangan Indonesia. Di saat yang sama, program pemerintah Indonesia juga bisa terjalin erat dengan Selandia Baru, bukan hanya antar-pemerintah tapi juga antara masyarakat. Menjalin hubungan harmonis people to people.

Menurut Tantowi, hubungan Indonesia dengan negara-negara di pasifik Selatan sangat penting. Hubungan ini harus dijaga demi kepentingan nasional, wa bil khusus keutuhan NKRI. Sebab selama ini, negara-negara Pasifik Selatan seperti Selandia Baru, Vanuatu, Tonga dan Samoa sering dipakai dan digunakan untuk memainkan isu Papua.

Karena itu pula, menjalin hubungan dengan negara-negara ini sangat penting, dan harus menjadi perhatian semua stakeholders termasuk masyarakat dan DPR. Jadi bukan semata tugas pemerintah atau masalah Kementerian Luar Negeri belaka.

"Soal Papua dibutuhkan diplomasi total, atau total football kalau dalam bahasa sepakbola. Jadi setiap stakeholders itu mempunyai kontribusi. Misalnya Parlemen. Parlemen itu harus paham betul isu Papua ini di Pasifik dimainkan oleh Parlemen juga. Jadi kalau Parlemen Indonesia tidak punya roadmap untuk membantu pemerintah, maka penyelesaian masalah Papua ini akan berjalan lambat, bahkan semakin lama bisa memburuk," ujar Tantowi.

Sejak 2017, Tantowi sendiri mengaku sudah pro-aktif mendatangi DPR untuk membangun kesepahaman soal Papua. Pada bulan Agustus 2017, ia pulang ke Indonesia dan langsyng berkomunikasi dengan pimpinan fraksi di DPR serta Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Tantowi mengaku sedih juga sebab selama ini tidak ada kunjungan anggota-anggota DPR RI ke wilayah Pasifik. Padahal, manfaatnya jauh lebih besar ketimbang datang ke negera-negara Eropa di Barat.

"Jadi kalau mereka datang ke pasifik, bikin kaukus atau grup kerja sama, undang mereka (Parlemen negara Pasifik), paling tidak bisa meredam isu Papua itu," ungkap Tantowi, sambil berharap kalangan kampus dan akademisi juga ikut membantu menjaga NKRI dengan menulis karya-karya ilmiah yang menggambarkan secara netral betapa pentingnya Papua bagi NKRI. Pun demikian juga dengan pers dan dunia usaha yang harus mulai mengembangkan usaha dan investasinya di wilayah Pasifik.

"Kalau sudut pandangnya hanya pangsa pasarnya dan daya beli yang kecil, maka tidak akan terjadi hubungan dagang antara Indonesia dengan negara-negara Pasifik. Kalau sudut pandangnya merangkul Selandia Baru untuk kepentingan ekonomi mereka akan kontributif pada setiap gerakan Indonesia," tegas Tantowi.

Memulai Perjalanan

Mengawali hari kedua, kami diajak sarapan di Wisma Indonesia, tempat kediaman Duta Besar. Sarapan juga nikmat; dengan bubur khas Indonesia.  Lebih nikmat lagi adalah pemandangan rumah kedutaan ini. Begitu membuka jendela, kita akan menyaksikan keindahan kota Wellington secara keseluruhan dari atas. Jelas terlihat pelabuhan, pusat kota indah yang tak terlampau besar, maupun di balik kota berupa bukit-bukit yang menghijau.

Usai sarapan, karena Pak Dubes mau menghadiri acara formal sebagai duta negara di parlemen Selandia Baru, kami diajak jalan-jalan oleh Mas Ritto. Di sepanjang jalan, kami diceritakan soal kebiasaan-kebiasaan orang Kiwi. Oh iya, di Selandia Baru, ada tiga macam kiwi.

Pertama, kiwi yang merupakan buah kiwi. Menurut The Time, buah kiwi sebenarnya berasal dari China, yang dibawa kali pertama oleh seorang guru dari Selandia Baru yang mengunjungi China pada tahun 1904. Sang guru itu pun memberikan buah tersebut ke petani Selandia Baru. Sejak tahun 1959, buah kiwi menjadi dan dikenal sebagai buah khas dari Selandia Baru.

Kedua, kiwi sebagai nama burung. Kiwi merupakan spesies burung yang tak bisa terbang. Burung ini sudah ada sejak jutaan tahun di Selandia Baru. Kemampuan burung kiwi selama jutaan tahun itu pun menjadi semangat nasionalisme orang Selandia Baru. Burung Kiwi berwarna merah pun menjadi lambang Angkatan Udara Selandia Baru.

Ketiga, kiwi sebagai sebutan orang Selandia Baru. Orang Selandia Baru dikenal sebagai Kiwi. Konon, pada tahun 1900-an ada orang Skotlandia membuat produk semir sepatu yang bersinar, awet, tahan air, yang kemudian diberi nama sebagai semir kiwi. Saat perang dunia pertama, tentara Inggris dan Amerika menggunakan semir kiwi.  

Dalam perang dunia pertama itu, pasukan Selandia Baru memang bergabung dengan pasukan Inggris untuk melawan kekaisaran Turki Usmani. Nah, saat itu orang Inggris menyebut pasukan Selandia Baru sebagai Kiwi. Sebutan Kiwi pun menjadi populer bagi warga Selandia Baru.

Kembali ke jalan-jalan. Siang itu, kami diajak jalan-jalan Mas Ritto untuk makan siang di Cuba Street. Jalan Cuba ini dikenal sebagai pusat kuliner dan kreatifitas. Di sepanjang jalan ini, nampak deretan cafe yang menawarkan makanan khas masing-masing. Jalan ini sudah dikukuhkan sebagai Area Bersejarah melalui Undang-Undang Tempat Bersejarah sejak tahun 1995.

Kami pun memesan makanan di sebuah rumah makan. Untuk menikmati suasana yang sangat sejuk, kami sengaja memilih makan di luar. Tepatnya berada di tengah jalan, di antara tempat lalu lalang orang di depan cafe. Kami memesan beef.

Di Wellington, kami juga mengunjungi museum Te Papa Tongarewa. Nama museum ini berasal dari Bahasa Maori, yang artinya tempat penyimpanan harta. Museum yang bagus dan futuristik ini menyimpan sejumlah barang bekas peperangan Gallipoli. Tampilan audio-visual juga nampak memukau. Terpajang juga sejumlah patung raksasa yang menggambarkan orang yang seang berperang, tentara yang kena tembak, atau seorang gadis yang sedih ditinggal kekasih karena ikut berperang.

Perang Gallipoli terjadi pada April-Desember 1915. Dalam perang ini, Inggris-Perancis melawan Turki Usmani. Inggris-Perancis berniat merebut Istanbul, yang merupakan ibukota Kerajaan Turki Usmani. Istanbul, yang sudah menjadi kota sejak 6 abad sebelum masehi berada di lokasi yang sangat strategis dan melintasi selat Bosporus. Selat ini berada di antara Laut Marmara dan Laut Hitam.

Selama 14 abad, dari abad pertama hingga abad ke-14, Istanbul berada di bawah kekuasaan Romawi. Masuk pertengahan abad ke-15, tapatnya tahun 1453, Istanbul dikuasi Muhammad Al-Fatih setelah dikepung selama 8 minggu, dan kemudian menjadi Ibukota Kerajaan Turki Usmani.

Tiga abad kemudian, pada tahun 1818, kerajaan Turki Usmani memancung kepala Abdullah I di selat Bosporus karena menilai raja Saudi pertama itu memberontak pada kekuasaan Istanbul. Dalam bahasa lain, kerajaan Saudi di kemudian hari adalah salah satu produk hasil pemberontakan pada kerajaan Turki Usmani.

Satu abad kemudian, tahun 1915, terjadilah perang Gallipoli. Selandia Baru juga terlibat dalam perang Gallipoli untuk membantu Inggris. Dalam perang ini, ada sekitar 3 ribu tentara Selandia Baru yang tewas, dan sekitar 5 ribu lainnya luka-luka. Museum Te Papa merupakan bentuk penghormatan kepada para pahlawan perang.

Selain jalan-jalan di Wellington, kami juga diajak Pak Dubes untuk mengunjungi Nelson, sebuah kota kecil di Pulau Selatan. Meski tak semua kota kami kunjungi, paling tidak kami menginjak di Pulau Utara dan Selatan.

Dari Wellington di Pulau Utara, naik kapal Ferry melintasi laut sepanjang 92 KM dengan jarak waktu tiga jam, dan tiba di Pulau Selatan. Di Pulau Selatan, dari Picton menembus hingga ke kota Nelson. Kami jalan-jalan, melihat perkebunan sapi, serta menikmati daging rusa dan kerang hijau raksasa di Havelook. Oh iya, di Selandia Baru ini, populasi sapi dan domba melebihi warga. Jumlah penduduk mencapai 4,8 juta jiwa semetara jumlah domba sekitar 30 juta.

Meski kota kecil, Nelson sungguh indah, dan tentu saja sejuk. Di kota ini banyak toko barang-barang antik. Nelson memang dikenal sebagai kota seni dan barang-barang antik.

Orang-Orang Indonesia Di Selandia Baru

Bukan hanya keindahan yang memukau, Selandia Baru juga dikenal sebagai negara yang baik untuk masa depan kehidupan. Tak sedikit, orang Indonesia yang mengadu nasib di negara di bagian bumi selatan ini. Bahkan total warga Indonesia yang ada Selandia Baru mencapai 5.000 orang.

Di antara orang yang cukup sukses di Selandia Baru itu adalah Herman. Herman adalah tukar potong rambut. Pria kelahiran 32 tahun lalu di Sumbawa Nusa Tenggara Barat ini bukan tukang cukur biasa. Dengan integritas dan profesionalitas dalam bekerja, langganan Herman bukan main-main. Di antaranya adalah mantan Perdana Menteri Selandia Baru; Bill English. Tantowi Yahya juga menjadi langganan Herman bila mau potong rambut.

Pada mulanya, Herman diajak sang kakak untuk bekerja di Selandia Baru. Hingga kini, sang Kakak sudah berada lima tahun di kota Wellington. Sementara Herman sudah tiga tahun. Sejak tiga tahu itulah Herman membuka usaha potong rambut yang ia beri nama Groom Barber and Stylish.

Sebagaimana yang terjadi pada umumnya di Selandia Baru, bahwa gaji maupun uang sewa dilakukan per minggu, bukan per bulan sebagaimana di Indonesia, maka Herman pun harus membayar untuk sewa tempat per minggu. Dalam seminggu, ia harus merogoh kocek sebesar 370 dolar Selandia Baru, atau sekitar Rp 4 juta.

Sewa ini tak terlalu memberatkan. Setiap hari, paling tidak ada 20 pelanggan yang datang. Bahkan bila akhir pekan bisa mencapai 30 orang. Soal harga, Herman membagi dua. Untuk orang Selandia Baru ia tetapkan 37 dolar Selandia Baru per potong. Untuk orang Indonesia, karena rasa nasionalisme dan merasa keluarga sendiri, cukup dengan membayar 20 dolar Selandia Baru.

Rata-rata pendapatan Herman per hari bisa mencapai 400 sampai 600 dolar Selandia Baru per hari. Jadi penghasilan Herman dalam sehari cukup menutupi untuk sewa tempat selama 1 minggu. Keuntungan 6 hari lainnya bisa Herman gunakan untuk sehari-hari dan untuk menabung.

Tentu saja, dengan kerja yang profesional, melayani 20 pelanggan per hari, Herman cukup kewalahan. Herman pun kini memiliki mitra kerja. Ia dibantu Lusi. Perempuan kelahiran 41 tahun ini asal Semarang.

Orang kedua Indonesia yang kami temui di Wellington adalah Reynold Tagore. Dia menjadi tenaga kerja asal Indonesia yang sudah ada di NZ sejak tahun 2012. Pria berusia 39 tahun ini kerja di bidang film. Film-film Hollywood banyak yang sudah digarapnya. Ia bagian digital dan pewarnaan.

Reynold kami temui sambil makan siang di kawasan Weta Digital. Weta merupakan grup perusahaan dunia yang terlibat dalam pembuatan film-film box office seperti serial Marvel. Terutama, film-film yang mengambil lokasi shooting di Selandia Baru, seperti film Lord of The Ring dan The Hobbit.

Di sebuah rumah makan Thailand di kawasan Weta Digital, Reynold bercerita bahwa ia suka sekali dengan film Lord of The Rings.  Saat mau difilm-kan, pria asal Surabaya ini pun langsung  terpesona dan langsung mencari cara dan mencari tahu bagaimana cara membuatnya.

Reynold pun, yang suka bikin gambar-gambar monster, kemudian belajar teknik-teknik pembuatan sosok-sosok yang ada di dalam film, terutama dari sisi digital. Setelah itu, Reynold mencoba melamar kerja di Weta. Namun sayang, lamaran Reynold ditolak. Tak kapok, Reynlod terus mencoba. Dan akhirnya diterima, setelah empat kali ditolak.

"Setelah dua tahun mempelajari, saya kemudian apply atau melamar pekerjaan ke Weta tidak diterima, saya coba lagi juga tidak diterima, dan masuk tahun kelima baru diterima," kata Reynold, yang sangat murah senyum ini.

Setelah diterima, Reynold pun terlibat dalam pembuatan beberapa film seperti The Hobbit, Iron Man, Man of Steel, Wolverine, Alvin and The Chipmunks dan Justice League. Reynold pun ikut terlibat dalam pewarnaan sejumlah sosok dalam film The Hobbit. Ia lah yang mewarnai tokoh Troll, Org dan Goblin.

"Saya juga bikin 10 kostum Iron Man, Wolverine saya bikin musuhnya, Alvin and The Chipmunks saya bikin Chipmunk-nya, dan ada juga film lainnya seperti Man Of Steel dan Justice League," kata Reynold.

Reynold termasuk orang yang mengagumi sosok Presiden Joko Widodo. Maka dalam pertemuan orang Indonesia di KBRI, pada pekan pertama di bulan Maret, Reynold senang karena mendengar kabar Jokowi akan datang ke Wellington.

"Saya kagum sama pak Jokowi, makanya saya ingin memberikan sesuatu untuk Indonesia dan pak Jokowi. Tapi karena skill saya cuma bisa bikin patung dan warna, akhirnya saya kontak KBRI Wellington dan menyampaikan ingin membuat Patung Garuda buat pak Jokowi," jelasnya.

Pada 18 Maret 2018 lalu, ketika Jokowi benar-benar datang ke Wellington,  Reynold menyerahkan patung Garuda Wisnu Kencana kepada Joko Widodo (Jokowi) Presiden RI sebagai tanda hubungan diplomatik Indonesia-Selandia Baru yang ke-60 tahun.

Sukses di bidang yang digeluti, Reynold berpesan kepada generasi muda Indonesia. Anak-anak muda Indonesia tak boleh mudah menyerah meski pernah mengalami kegagalan. Bila tertarik pada satu bidang, maka tekuni saja. Hasil tak pernah mengkhianti proses, dan keberhasilan akan segera datang menyapa.

"Kalau ingin melakukan sesuatu, Jalankan 100 persen dan bandingin diri kita kalau mau berhasil dengan level internasional, jangan di level lokal. Fokus ke kekurangan kita sendiri dan perbaiki. Jangan fokus kekurangan orang lain," demikian Reynold.  [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA