Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kapitalisme Negara Vs Kapitalisme Korporasi

Senin, 19 November 2018, 12:48 WIB
KEBIJAKAN ekonomi. Kedua kata ini sangat krusial dalam menentukan arah sebuah bangsa. Salah mengambil kebijakan dan pijakan, maka kondisi ekonomi bangsa menjadi kacau balau.

Inilah yang dirasakan Indonesia saat ini.

Berangkat dari kepedulian besar pada nasib bangsa ini, Ketua Lintas Komunikasi Alumni Jerman (Linkom Aljer),  Dipl.-Ing Deddy Toekan secara khusus mengundang, Ichsanudin Noorsy, pakar ekonomi yang punya jam terbang cukup lumayan di dunia politik ekonomi di negeri ini.

Sengaja Noorsy dipilih karena sudut pandangnya relatif independen dan tak cenderung mainstream. "Negara ini butuh terobosan yang berani," kata Deddy Toekan di hadapan para peserta diskusi terbatas yang dihadiri para alumni Jerman.

Tanpa basa-basi, Ichsanudin Noorsy, pakar politik ekonomi, dalam sebuah diskusi terbatas yang diprakarsai Lintas Komunikasi Alumni Jerman (Linkom Aljer), Jumat sore (16/11), menegaskan, ekonomi tanpa politik dan begitu juga sebaliknya tak akan berkesinambungan. Politik dan ekonomi adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan, yakni keduanya saling mempengaruhi.

Pada slide presentasinya, Ichsanudin Noorsy menjelaskan, kekuatan dunia berusaha memonopoli ekonomi dengan menciptakan ketergantungan pada negara-negara berkembang. Yang disasar bukan saja pasarnya saja tapi juga sumber alam negara-negara berkembang.

Dalam presentasinya di hadapan alumnus Jerman yang memadati ruangan pertemuan di Hotel Sare, Jalan Sultan Hasanudin No 46, Blok M, Jakarta Selatan, menyampaikan pengaruh ekonomi global dalam memonopoli ekonomi dunia dana memeras negara-negara dunia ketiga.

Kekuatan dunia yang terwakili negara-negara industri membangun koalisi untuk mengendalikan ekonomi dunia dan menciptakan  berbagai organisasi internasional yang fungsinya adalah menekan negara-negara berkembang.

Semisal PBB berfungsi mengatur keamanan dunia, tapi pada dasarnya organisasi ini juga menekan dunia ketiga. Alih-alih mendamaikan dunia, tapi organisasi ini tutup mata pada invasi-invasi kekuataan dunia pada negara-negara berkembang.

Bukan hanya PBB, tapi ada organisasi-organisasi lainnya semisal Bank Dunia, Dana Moneter Internasional yang juga dikenal dengan IMF dan World Trade Organization (WTO), sebuah organisasi yang berfungsi mengatur perdagangan internasiol.

Semua organisasi itu punya peran masing-masing yang intinya adalah mengatur ritme dunia sehingga negara-negara berkembang tetap dikondisikan untuk terus bergantung.

Menurut Ichsanudin Noorsy, kekuatan koalisi itu terbentuk berdasarkan kekuatan pertahanan militernya. Untuk itu, negara-negara dapat dikategorikan besar ketika menguasai teknologi nuklir. Tidak salah dalam perspektif ketamakan kekuatan dunia, Iran dan Libya harus dihabisi karena kedua negara ini berusaha untuk mandiri.

Kemandirian sebuah bangsa tentunya berlawanan dengan visi kekuatan dunia yang ingin menciptakan ketergantungan pada negara-negara berkembang. Iran saja tak diberi kesempatan sama sekali untuk bangkit. Padahal negara ini baru ingin mengembangkan teknologi nuklir.

Upaya Iran itu jelas dihadang habis-habisan karena penguasaan teknologi nuklir dapat memposisikan negara ini setara dengan kekuatan dunia.

Mengamati kondisi ekonomi dunia saat ini, AS selaku negara yang memposisikan sebagai polisi dunia, menghadapi kondisi yang sangat payah.  Karena itu, Presiden AS, Donald Trump dalam pernyataannya menegaskan, "Make America Great Again."

Ichsanudin Noorsy mengacu pada laporan Newsweek, menjelaskan, situasi politik ekonomi AS sejak tahun 2001 hingga 2007 lebih menguntungkan Uni Eropa, Jepang dan China. Selain itu juga, situasi pada tahun-tahun itu juga memberikan peluang bangkitnya musuh potensial AS seperti Venezuela, Bolivia, Brasil, Argentina, Rusia dan Iran.

Rusia juga berusaha menggeser unipolar mejadi multipolar. Indikasinya dapat dilihat penempatan rudal di Polandia dan pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kaspia. Semua itu menunjukkan Negeri Paman Sam sudah tak bertaring. Apalagi secara finansial, AS digerus habis akibat perang di Irak dan musibah alam di dalam negeri.

Sebagaimana disampaikan Noorsy dalam slide presentasinya, biaya perang AS sekitar 845 miliar dolar AS. Akibat badai Katrina, AS gelontorkan dana sekitar 116 miliar dolar AS dari dana yang dibutuhkan sekitar 150 miliar dolar AS untuk pemulihan kawasan gempa.

AS juga alami defisit perdagangan dengan China senilai 266 miliar dolar. Semua kondisi inilah yang menyebabkan krisis pada tahun 2008, 2011 dan 2013.

Cina dan AS terus tarik ulur. AS di era Obama hanya mampu membuat tiga FTA atau area perdagangan bebas. Sementara Cina mampu membuat 15 FTA.

Hal yang menarik disampaikan Ichsanudin Noorsy adalah persaingan dagang saat ini antara kapitalisme korporasi dan kapitalisme negara. Bisa dikatakan AS saat ini masih memainkan peran sebagai kapitalisme negara, sedangkan China membuka pintu selebar mungkin pada korporasi.

Inilah perang dagang  antara AS dan China yang masing-masing tetap mewakili kapitalisme dalam bungkus  yang berbeda. Keduanya rakus eksploitasi negara berkembang dengan gaya masing-masing, tapi intinya mereka tetap menerapkan penjajahan.[***]

Alireza Alatas

Pembela Ulama dan NKRI, aktivis Silaturahmi Anak Bangsa (Silabna)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA