Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menebak Pesan Lain Di Balik Pertemuan Hanoi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Rabu, 27 Februari 2019, 22:44 WIB
Menebak Pesan Lain Di Balik Pertemuan Hanoi
Warga Hanoi yang ingin menyaksikan iring-iringan kendaraan yang membawa Donald Trump dan Kim Jong Un ke lokasi makan malam/RMOL
rmol news logo Jamuan makan malam pembuka pertemuan tingkat tinggi Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan pemimpin tertinggi Republik Rakyat Demokratik Korea Kim Jong Un di Sofitel Legend Metropole Hotel, Hanoi, baru saja berakhir.

Sebelum berpisah, keduanya sepakat untuk melanjutkan pembicaraan hal-hal yang lebih teknis hari Kamis besok (28/2).

Makan malam berlangsung selama sekitar 90 menit. Dalam jamuan, Trump didampingi Menteri Luar Negeri Mike Pompeo dan Kepala Staf Gedung Putih Mick Mulvaney. Sementara Kim Jong Un didampingi Wakil Ketua Partai Pekerja Korea Kim Yong Chol dan Menteri Luar Negeri Ri Yong Ho.

Menu istimewa yang terdiri dari sirloin panggang, kimchi pir, koktail udang, serta kue lava cokelat menemani pembicaraan mereka.

Hanya sedikit wartawan yang diperbolehkan hadir meliput jamuan makan malam itu. Umumnya wartawan yang meliput jamuan makan malam adalah koresponden resmi Gedung Putih, korps wartawan Korea Utara dan sejumlah wartawan Vietnam.

Sebelum memulai jamuan makan malam, Trump dan Kim sempat memberikan keterangan di hadapan  wartawan. Kim memuji Korea Utara yang menurutnya memiliki potensi sangat besar.

Dia juga memuji Kim Jong Un sebagai pemimpin besar, dan berjanji akan membantu pembangunan Korea Utara.

Sementara Kim Jong Un mengatakan, Trump telah mengambil keputusan yang berani dengan menghadiri pertemuan tingkat tinggi kedua ini.

Kim juga menyinggung perjalanan pembicaraan mereka sejak pertemuan bulan Juni 2018 di Singapura. Ada banyak upaya dan rasa sabar, katanya.

Mengapa Bertemu di Vietnam

Belum ada penjelasan resmi mengapa Trump dan Kim memilih Republik Sosialis Vietnam sebagai tuan rumah pertemuan mereka yang kedua.

Patut diyakini keduanya sangat hati-hati dalam hal menentukan tuan rumah ini. Bukan tidak mungkin ada pertimbangan-pertimbangan lain yang tidak terkait langsung dengan isu nuklir dan perdamaian di Semenanjung Korea.

Sejauh yang dapat diamati, Vietnam ibarat titik temu yang paling bisa diandalkan keduanya dalam upaya melanjutkan pembicaraan damai yang telah dimulai bulan Juni lalu di Singapura.

Bagi Korea Utara, Vietnam adalah negara sahabat. Kedua negara menjalin hubungan erat sejak era Perang Dingin.

Bersama Uni Soviet, China, dan Kuba, Korea Utara memberikan bantuan yang tidak sedikit pada Vietnam Utara ketika Perang Vietnam berkecamuk antara 1955 hingga 1975.

Jauh setelah Perang Vietnam berakhir, Vietnam seperti halnya Korea Utara hingga kini masih percaya pada sosialisme sebagai ideologi yang paling dapat diandalkan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.

Kedua negara pun menganut sistem partai tunggal yang diyakini sebagai metode paling pas untuk mengawal agenda sosialisme.

Seperti umumnya partai-partai komunis, Partai Pekerja Korea dan Partai Komunis Vietnam yang berkuasa di masing-masing negara menggunakan bendera dengan warna dasar merah menyala, berikut lambang yang nyaris sama.

Bedanya, selain gambar palu dan arit yang melambangkan kelompok petani dan buruh pekerja, Partai Pekerja Korea memiliki elemen ketiga, kuas yang melambangkan kelompok intelektual dan terpelajar.

Sementara itu, bagi AS jelas Vietnam adalah bekas musuh besar. Di era Perang Dingin, di tengah persaingan menghadapi Uni Soviet dalam upaya memperluas pengaruh ideologi dan kepentingan ekonomi, Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya memberikan dukungan maksimal pada Republik Vietnam atau Vietnam Selatan.

Namun strategi perang gerilya Vietnam Utara berhasil memukul Amerika Serikat di banyak front. Membuat moral pasukan menjadi lemah. Belum lagi, memasuki era 1960an masyarakat sipil pembayar pajak di tanah air semakin kritis pada penggunaan pajak yang mereka bayar untuk membiayai perang itu.

Tahun 1973, Amerika Serikat menarik mundur pasukan dari medan perang. Keputusan ini membuat pertahanan Vietnam Selatan menjadi semakin lemah. Dua tahun setelah itu Vietnam Utara berhasil memukul Vietnam Selatan dan merebut Saigon.

Setahun setelah memenangkan Perang Vietnam, nama Saigon diubah menjadi Ho Chi Min yang diambil dari nama pemimpin Vietnam Utara yang kharismatik dan merupakan inspirasi kemenangan revolusi mereka.

Walau punya catatan kelam dengan Vietnam di masa lalu, tetapi pragmatisme memungkinkan Amerika Serikat mengambil pendekatan yang berbeda terhadap Vietnam dalam beberapa dekade terakhir, setidaknya sejak era Perang Dingin berakhir.

Hubungan kedua negara dinormalisasi pada Agustus 1995. Adalah Presiden Bill Clinton yang mengumumkan hal itu. Di bulan Juli 2000, kedua negara menandatangani perjanjian dagang bilateral. Ini diikuti dengan penandatanganan perjanjian-perjanjian terkait beberapa waktu setelah itu.

Di tahun 2015, Sekjen Partai Komunis Vietnam, Nguyen Phu Trong, berkunjung ke Washington DC dan bertemu Presiden Barack Obama. Itu adalah kunjungan bersejarah, kali pertama pemimpin tertinggi Vietnam melakukan lawatan resmi ke Amerika Serikat.

Pragmatisme juga berkembang di Vietnam. Dalam beberapa tahun belakangan ini dunia menyaksikan Vietnam semakin mantap mencatatkan diri sebagai magnet baru di kawasan.

Pragmatisme ini membuahkan pertumbuhan ekonomi yang terbilang impresif di tengah resesi global yang terjadi. Ekonomi Vietnam tahun lalu tumbuh sebesar 7,08 persen, sementara neraca perdagangan mengalami surplus yang artinya lebih banyak ekspor daripada impor. Foreign Direct Investment  juga mengalami kenaikan di tahun 2017 sebesar 150,58 miliar dolar AS.

Indikator-indikator ini memberi kesan betapa Vietnam memiliki kemampuan mengelola perekonomian, mendorong pertumbuhan domestik dan di saat bersamaan membangun kepercayaan pihak luar.

Sinyal Untuk China

Pertemuan tingkat tinggi AS dan Korut di Hanoi juga bisa dilihat sebagai cara lain yang digunakan Trump untuk mengirimkan pesan kepada Republik Rakyat China yang semakin agresif memperluas pengaruh melalui kampanye Belt and Road Initiative.

Dari sudut pandang ini, Trump  seakan memanfaatkan sentimen negatif terhadap China yang berkembang di tengah masyarakat dan pemerintah Vietnam.

Telah menjadi rahasia umum bahwa hubungan Vietnam dan China terbilang tidak baik sejak setidaknya abad ke-3 Sebelum Masehi. Secara tradisional, di mata warga Hanoi, China bukan sekadar penakluk (conqueror), melainkan penghancur (destroyer).  

Tidak sedikit warga Vietnam menilai era pendudukan Prancis yang berlangsung dari abad ke-18 sampai Perang Vietnam masih lebih baik dibandingkan dengan penaklukan yang dilakukan raja-raja Tiongkok di era kuno terhadap wilayah yang kini dikenal sebagai Vietnam.

Adapun China kembali agresif dalam satu  dekade belakangan dan dengan pongah mengklaim Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly di Laut China Selatan sebagai miliknya.

Di tahun 2015, dengan mengabaikan protes negara-negara yang sedang membicarakan batas wilayah di Laut China Selatan, termasuk Vietnam, China menguasai sebuah pulau karang dan membangunnya menjadi pangkalan militer.

Bukan hanya Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam dan Filipina yang terganggu dengan manuver sepihak China ini. Bagi Amerika Serikat yang untuk waktu cukup lama mendominasi kawasan juga, manuver China itu adalah tantangan terbuka yang mesti dihadapi.

Pada titik ini, Vietnam dan AS memiliki kepentingan yang sama.

Tahun 2017, Menteri Pertahanan AS, Jim Mattis, bertemu dengan Menteri Pertahanan Vietnam Ngo Xuan Lich, untuk membicarakan upaya konkret memperkuat kerjasama di Laut China Selatan demi mengimbangi agresifitas China.

Setahun sebelum itu, AS lebih dahulu mencabut embargo senjata untuk Vietnam. Pengumuman pencabutan embargo senjata itu disampaikan Presiden Barack Obama dalam jumpa pers bersama Presiden Tran Dai Quang di Hanoi, bulan Mei 2016.

Ketika itu Obama mengunjungi Vietnam selama tiga hari. Ini adalah kunjungan pertama pemimpin AS ke Vietnam setelah Perang Vietnam berakhir.

Model Reunifikasi


Dalam literatur politik internasional modern, ada dua model reunifikasi yang kerap dibicarakan. Pertama, model Jerman, dan kedua model Vietnam. Demikian pula, setiap kali ada pembicaraan mengenai reunifikasi Korea, kedua model ini selalu muncul sebagai pembanding.

Sudah barang tentu bagi Korea Utara dan Korea Selatan penting untuk memikirkan model reunifikasi yang paling mungkin mereka lakukan.

Model reunifikasi sudah mulai dibicarakan secara terbuka oleh kedua Korea sejak lama. Salah satu puncaknya adalah dalam pertemuan antara pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong Il dan Presiden Korea Selatan Kim Daejung di Pyongyang, tahun 2000 silam.

Dalam dokumen Deklarasi Bersama 15 Juni Utara-Selatan yang ditandatangani di akhir pertemuan, disebutkan bahwa kedua Korea sepakat reunifikasi dan perdamaian Semenanjung Korea akan dikerjakan bersama rakyat kedua Korea.

Dalam pertemuan itu, Kim Daejung menawarkan bentuk konfederasi, sementara Kim Jong Il menawarkan bentuk federasi yang longgar (loose). Keduanya menyatakan sepakat mendorong dan mempromosikan reunifikasi ke arah tersebut.

Pengganti Kim Daejung, Roh Moohyun, dalam pertemuan dengan Kim Jong Il di tahun 2007, juga di Pyongyang, pun membawa semangat perdamaian dan reunifikasi yang sama. Ia melanjutkan keputusan politik pendahulunya untuk mempererat kerjasama ekonomi dengan Korea Utara untuk memperpendek gap di antara keduanya.

Pembicaraan damai kedua Korea mengalami interupsi ketika partai konservatif Saenuri berkuasa. Presiden Lee Myungbak yang berkuasa antara 2008 hingga 2013 sama sekali tidak membuka peluang pembicaraan damai. Ia menghentikan Sunshine Policy dan memilih untuk mengintensifkan hubungan militer dengan Amerika Serikat.

Presiden Park Geunhye yang berkuasa kemudian sedikit merevisi pandangan Lee yang merupakan seniornya di Partai Saenuri. Presiden Park memperkenalkan Trust Building Policy yang meminta Korea Utara membuka diri dan menawarkan pembicaraan didasarkan rasa saling percaya.

Korea Utara menganggap permintaan ini sebagai sesuatu yang aneh, karena bagi mereka adalah Korea Selatan yang mengakhiri pembicaraan damai ketika kubu konservatif berkuasa.

Tahun 2014, Presiden Park Geu berkunjung ke Berlin, Jerman. Dalam jumpa pers usai pertemuan dengan Kanselir Angela Merkel, Presiden Park mengatakan bahwa model reunifikasi ala Jerman yang terjadi setelah blok Timur tumbang tahun 1989 adalah yang paling sesuai dengan kondisi Semenanjung Korea.

Pernyataan Park ini menyinggung perasaan Korea Utara karena mengandaikan bahwa reunifikasi Korea hanya bisa terjadi dengan absortion dimana ada satu pihak yang tumpas dan pihak yang lain merebutnya.

Menggelar pertemuan dengan Trump di Hanoi bisa jadi adalah cara lain yang dipilih Kim untuk mengatakan kepada dunia tentang model reunifikasi yang paling pas menurut Korea Utara. Belum lagi, Vietnam adalah bukti nyata bahwa bahwa sosialisme bisa bersanding dengan liberalisme yang pragmatis, dan pada akhirnya membuahkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Selain itu, tampaknya Kim juga sedang mempelajari road map politik dan ekonomi Vietnam pasca perang. Termasuk, bagaiamana Vietnam bisa menjalin hubungan baik, konstruktif dan saling menguntungkan dengan bekas musuh besar mereka.

Seperti kata banyak orang bijak, interest makes friend. ***

Penulis adalah wartawan senior Kantor Berita Politik RMOL, dosen politik Asia Timur dan pemerhati isu Semenanjung Korea.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA