Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Membandingkan Pancasila Dengan Piagam Madinah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Minggu, 14 April 2019, 09:22 WIB
Membandingkan  Pancasila  Dengan Piagam Madinah
JIKA kita ingin mencari contoh otentik dan ideal negara Islam atau negara yang Islami, maka yang paling kuat baik dengan alasan spiritual maupun historis, tidak ada pilihan lain keculi kembali kepada Rasulullah. Secara spiritual Nabi Muhammad disebut sebagai uswathun hasanah di dalam Al Qur'an  (Al Ahzab 21).

Sementara dari sisi historis, negara Madinah yang didirikan Rasulullah sukses besar, karena bisa mempersatukan seluruh suku-suku Arab yang sebelumnya tercerai-berai dalam banyak suku atau kabilah.

Bahkan setelah Nabi wafat,  saat negara rintisan Rasulullah ini dilanjutkan oleh para sahabat yang merupakan kader langsung beliau, negara Madinah menjadi super power karena mampu menaklukan dua super power saat itu, yakni Persia di Timur dan Romawi di Barat.

Pertanyaannya kemudian, dimana atau bagaimana rahasia sukses Rasulullah tersebut, agar model pengelolaan negara yang dilakukannya bisa ditauladani oleh para pengikutnya saat ini.

Untuk menjawabnya tentu para ilmuwan bisa berbeda pendapat, mengingat berbicara tentang negara berarti berbicara tentang banyak hal. Disamping itu pendekatan apa yang akan digunakannya juga akan ikut mempengaruhi pembahasannya.

Tulisan ini mencoba untuk menggunakan perspektif politik yang berangkat dari kajian konstitusi negara yang dijadikan landasan dalam mengambil berbagai kebijakan oleh para pemimpinnya.

Untuk membahas negara Madinah, maka  konstitusi utama yang dijadikan sumber dari berbagai kebijakan negara Madinah dikenal dengan nama Piagam Madinah, yang dalam bahasa Arab disebut Dustur al-Madinah atau Mithaq al-Madinah. Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal meliputi: Pembukaan, dilanjutkan dengan pasal-pasal yang berbicara tentang pembentukan ummat, persatuan seagama, persatuan warganegara, golongan minoritas, tugas warganegara, perlindungan negara, pimpinan negara, perang dan perdamaian.

Konstitusi ini menarik bagi kita sebagai bangsa Indonesia, karena masyarakat Madinah saat itu ternyata sangat plural baik dilihat dari agama maupun suku warganya.  Disamping ummat Islam, ada penganut Nasrani dan Yahudi. Juga dari sisi suku atau kabilah ternyata sangat banyak dan beragam tradisi dan budayanya. Karena itu sangat menarik bila kita membandingkannya dengan Pancasila.

Sebenarnya bila mau membandingkannya dengan kerangka apple to apple, maka seharusnya Piagam Madinah dibandingkan dengan UUD 1945, pendekatan ini cocok dilakukan oleh para pakar hukum. Karena kajian kali ini menggunakan pendekatan politik, maka yang menjadi objek kajian sekaligus menjadi fokusnya adalah substansi isinya.

Ternyata Pancasila memiliki banyak kesamaan dengan Piagam Madinah, bila kita melihat bagaimana perbedaan agama dan suku dikelola. Masyarakat Madinah ternyata bukan saja berhasil membangun toleransi, akan tetapi juga bekerjasama membangun kesejahteraan seluruh warganya, sekaligus melindungi dan memajukan negara.

Bagi sebagian ummat Islam di Indonesia, sampai sekarang masih ada yang menyesali hilangnya 7 kata, pada sila pertama Pancasila yang sebelumnya disebut Piagam Jakarta. Piagam Jakarta yang sila pertamanya  memuat kalimat: ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kelompok ini memandang baik secara politik maupun spiritual, Piagam Jakarta lebih sesuai dengan keyakinannya.

Untuk mendudukan  masalah ini, ada baiknya kita membandingkan dengan apa yang dilakukan Rasulullah, saat menghadapi perdebatan yang serius dalam proses penyusunan  Perjanjian Hudaibiyah, sehingga mirip dengan proses penyusunan Pancasila. Saat itu Nabi mewakili masyarakat Madinah berhadapan dengan para pemimpin kaum musyrik Makkah dalam proses perundingan, untuk menghindari perang antara dua masyarakat.

Ternyata Rasulullah juga menyetujui dicoretnya 7 kata dari draft awal yang dibuatnya,  karena ditolak oleh wakil dari Makkah, sebagaimana diterangkan dalam kitab Hayatus Shahabat karangan Maulana Muhammad Kandhlawi.

Adapun 7 kata yang dicoret dalam perjanjian yang ditandatangani di sebuah lembah antara Makkah dan Madinah yang bernama Hudaibiyah ini antara lain: Bagian pertama, hilangnya lima kata terkait dengan ” bismillahirrahmanirrahim" (atas nama Allah yang maha rahman lagi maha rahim). Lima kata yang hilang itu: "Allah"- "ar"-"rahman"-"ar"-"rahim", diganti menjadi ” bismika allahumma” (atas nama Mu wahai Tuhan).

Bagian kedua, pada sebutan "Muhammad rasulullah" (Muhammad utusan Allah), diganti menjadi "Muhammad bin Abdullah" (Muhammad putra Abdullah). Dua kata yang hilang pada bagian ini: "rasul"-"Allah".

Merujuk pada kesamaan-kesamaan di atas, maka tidak ada kata lain bagi kita sebagai warga negara, kecuali menghormati dan mensyukuri kehadiran Pancasila sebagai landasan negara Republik Indonesia. rmol news logo article

Penulis pengamat politik Islam dan demokrasi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA