Dalam sebuah pernyataan yang dirilis Selasa (14/5) melalui Kantor Berita Pusat resmi
KCNA, jurubicara Kementerian Luar Negeri Korea Utara yang tidak disebutkan namanya menyebut bahwa Amerika Serikat telah mengkhianati semangat perjanjian puncak tahun lalu antara pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Donald Trump.
Pada pertemuan puncak penting mereka di Singapura pada 12 Juni 2018, Kim dan Trump telah menyetujui pernyataan yang menyerukan Semenanjung Korea yang bebas nuklir dan meningkatkan hubungan bilateral.
Kemudian pertemuan kedua mereka di Vietnam pada bulan Februari runtuh tanpa persetujuan apapun yang dibuat.
Pernyataan Kementerian Luar Negeri Korea Utara itu menolak resolusi Dewan Keamanan PBB terhadap Korea Utara, yang semula dikutip Amerika Serikat sebagai alasan dalam menyita kapal itu. Korea Utara menilai, perampasan kapal itu sebagai pelanggaran kedaulatannya.
"Tindakan ini merupakan perpanjangan dari perhitungan gaya Amerika Serikat dalam upaya menahan kami agar tunduk dengan tekanan maksimum dan merupakan penolakan total terhadap semangat dasar dari pernyataan bersama Korea Utara-Amerika Serikat 12 Juni," kata jurubicara itu.
Dia menekankan bahwa Washington salah besar jika percaya bisa mengendalikan Pyongyang dengan kekuatan.
Sebelumnya, Departemen Kehakiman Amerika Serikat pekan lalu mengatakan telah menyita kapal kargo Korea Utara yang dituduh melakukan pengiriman batu bara ilegal yang melanggar sanksi PBB setelah pertama kali ditahan oleh Indonesia pada April 2018.
Para pejabat Amerika Serikat, seperti dimuat
Al Jazeera, mengatakan kapal Korea Utara yang dikenal sebagai "Wise Honest" sedang disita ke Samoa Amerika.
Kasus ini menandai pertama kalinya Amerika Serikat menangkap kapal kargo Korea Utara karena diduga melanggar sanksi.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.