Hal ini diperparah dengan tidak adanya kemajuan dalam dialog denuklirisasi yang diinisiasi Presiden AS Donald Trump.
Persoalan ini juga yang menjadi agenda utama dalam Rapat Pleno ke-5 Komite Sentral Ke-7 dari Partai Pekerja Korea pada akhir tahun lalu.
Demikian keterangan tertulis yang diterima
Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (14/1).
Disebutkan, berbagai pertemuan yang diinisiasi oleh AS hanyalah dimanfaatkan untuk tujuan politis dan diplomatis Trump, khususnya menjelang pemilihan presiden AS pada tahun ini.
Buktinya, hingga saat ini, dari tiga pertemuan yang telah diadakan, masih menemui jalan buntu.
Alih-alih membuka pintu hubungan baru, AS justru mengintensifkan sanksi dan ancaman militernya kepada Korea Utara.
Hal ini jelas telah melumpuhkan dan menghancurkan Korea Utara dibanding menciptakan perdamaian. Alhasil, demi bertahan, Korea Utara harus berdiri di atas kaki sendiri (berdikasi) atas sanksi yang diberlakukan.
Namun, di bawah sanksi terburuk pun, Korea Utara tetap mempunyai pencapaian. Contohnya saja pada akhir tahun lalu.
Korea Utara berhasil menyelesaikan proyek pembangunan Kota Samjiyon, Resor Mata Air Panas Yangdok, Perkebunan Rumah Kaca Sayuran Jungphyong, Pembibitan Pohon, Bendungan Phalhyang, hingga Pembangkit Listrik Orangchon.
Untuk produksi pertanian, Korea Utara berhasil melampaui target meski kondisi cuaca kurang menguntungkan. Sementara itu, saat ini berbagai pembangunan infrastruktur dan industri terus digalakkan.
"Sejak munculnya kata “sanksi†di dunia. Saat ini, tidak ada negara lain yang menderita dan dapat mengatasi sanksi keras seperti RRDK," tulis pernyataan tersebut.
Benar begitu yang terjadi. Karena Korea Utara membuktikan diri tidak pernah menyerah pada sanksi.
"Semakin intensif sanksi itu, semakin kuat semangat kemandirian rakyat dan kemauan untuk membangun kekuatan independen," tegas tulisan tersebut.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: