Setelah berkoar-koar ingin meredakan ketegangan dan kembali ke jalur diplomasi guna melanjutkan dialog denuklirisasi, AS justru memberi sanksi dua perusahaan penyalur pekerja Korea Utara. Alasannya, dua perusahaan tersebut dianggap telah mengeksploitasi pekerja dan melanggar hak asasi manusia.
Selasa (14/1), Departemen Keuangan AS memberikan sanksi kepada Korea Namgang Trading Corporation (KNTC) dan Subakso. KNTC merupakan perusahaan Korea Utara yang menyalurkan tenaga kerja ke Rusia, Nigeria, dan Timur Tengah. Sementara Subakso adalah perusahaan China yang menjadi penyalur pekerja dari Korea Utara.
Dimuat
Channel News Asia, sanksi yang diberikan AS berupa pembekuan aset. Selain itu, semua pihak yang melakukan kerja sama dengan kedua perusahaan itu dinyatakan melakukan tindakan kejahatan.
"Ekspor pekerja Korea Utara meningkatkan pendapatan ilegal bagi pemerintah Korea Utara yang melanggar sanksi PBB," ujar Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin.
Tak hanya sampai di sana, di bawah resolusi PBB yang telah disetujui pada 2017 lalu, negara-negara yang memiliki pekerja dari Korea Utara harus memulangkan mereka paling lambat 22 Desember tahun lalu.
Data dari pejabat AS pada 2017 menunjukkan, Korea Utara memiliki 100 ribu pekerja yang dikirim ke luar negeri. Para pekerja tersebut menghasilkan 500 juta dolar AS per tahunnya atau setara dengan Rp 6,8 triliun (Rp 13.717/dolar AS).
Kebanyakan dari mereka dipekerjakan di Rusia dan China. Sementara lainnya ada yang sudah sampai ke negara-negara Eropa Timur.
Menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia, para pekerja Korea Utara yang dikirim ke luar negeri memiliki hidup yang susah. Mereka tinggal di pemukiman yang terisolir dan tampak seperti budak, karena uang yang dihasilkan dikirim ke rezim.
Bahkan pekerja Korea Utara lebih sering melakukan pekerjaan konstruksi atau melakukan pekerjaan berat lainnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: