Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Peneliti Amerika Berhasil Temukan Vaksin Potensial Untuk Virus Corona, Namanya PittCoVacc

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sarah-meiliana-gunawan-1'>SARAH MEILIANA GUNAWAN</a>
LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN
  • Jumat, 03 April 2020, 16:11 WIB
Peneliti Amerika Berhasil Temukan Vaksin Potensial Untuk Virus Corona, Namanya PittCoVacc
Microneedle untuk PittCoVacc/Net
rmol news logo Sebuah penelitian yang yang dilakukan oleh para ilmuan di Fakultas Kedokteran Universitas Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat menghasilkan temuan baru terkait vaksin untuk virus corona atau SARS-CoV-2.

Para ilmuan telah menyatakan berhasil menemukan vaksin potensial untuk melawan virus corona setelah melakukan uji coba pada tikus.

Temuan tersebut telah diterbitkan di EBioMedicine oleh The Lancet pada Kamis (2/4).

Nama vaksin yang telah berhasil diuji itu adalah PittCoVacc atau kependekan dari Pittsburgh Coronavirus Vaccine.

Pengujian dengan memasukan PittCoVacc melalui patch berukuran ujung jari ke dalam tubuh tikus. Hasilnya, terdapat vaksin yang memunculkan antibodi khusus untuk SARS-CoV-2 dengan jumlah yang dianggap cukup untuk menetralkan virus tersebut.

Berbeda dengan kandidat vaksin mRNA yang baru memulai uji klinis, PittCoVacc menggunakan potongan-potongan protein virus yang dibuat di laboratorium untuk membangun imunitas.

Itu sama dengan cara kerja suntikan flu saat ini.

Selain itu, para ilmuan tersebut juga menggunakan pendekatan baru untuk memberikan vaksin. Pendekatan tersebut disebut dengan Microneedle Array.

Microneedle Array adalah sebuah patch seukuran ujung jari yang terdiri dari 400 jarum kecil yang memberikan potongan Spike Protein ke dalam kulit di mana reaksi kekebalan terkuat.

Tambalannya seperti Band-Aid. Nantinya jarum-jarumnya yang seluruhnya terbuat dari gula dan potongan-potongan protein akan larut ke dalam kulit.

"Kami mengembangkan ini untuk membangun metode awal yang digunakan untuk memberikan vaksin cacar ke kulit, tetapi sebagai versi teknologi tinggi yang lebih efisien dan dapat direproduksi dari pasien ke pasien," ujar anggota peneliti yang merupakan Profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Pittsburgh, Louis Falo.

"Dan ini sebenarnya tidak menyakitkan rasanya seperti Velcro," lanjutnya.

Pendekatan ini, dikatakan Falo memiliki skalabilitas yang tinggi karena potongan-potongan protein diproduksi oleh pabrik sel yang dirancang untuk menghasilkan spike protein dari SARS-CoV-2. Artinya, vaksin ini mudah untuk produksi dalam jumlah banyak.

"Untuk sebagian besar vaksin, anda tidak perlu membahas skalabilitas untuk memulai," ungkap Profesor Bedah di Pitt School of Medicine, Andrea Gambotto.

"Tetapi ketika anda mencoba mengembangkan vaksin dengan cepat melawan pandemi, itulah persyaratan pertama," lanjutnya.

Ketika diuji pada tikus, PittCoVacc menghasilkan gelombang antibodi terhadap SARS-CoV-2 dalam waktu dua minggu setelah tusukan microneedle.

Meskipun belum diteliti, namun berdasarkan pengalaman MERS-CoV, vaksin itu bisa menghasilkan tingkat antibodi yang cukup untuk menetralkan virus selama setidaknya satu tahun.

Penemuan yang dapat dikatakan sangat cepat ini memang didasarkan pada pengalaman epidemi yang disebabkan oleh virus corona yang lainnya seperti SARS dan MERS.

"Kami memiliki pengalaman sebelumnya tentang SARS-CoV pada tahun 2003 dan MERS-CoV pada tahun 2014. Kedua virus ini, yang terkait erat dengan SARS-CoV-2," ungkap Gambotto.

"Kami mempelajari bahwa protein tertentu, yang disebut Spike Protein, penting untuk mendorong kekebalan melawan virus. Kami tahu persis di mana untuk melawan virus baru ini," lanjutnya seperti yang dimuat Science Daily.

Berdasarkan pengalaman tersebut, ia kemudian mengatakan pentingnya mendanai penelitian vaksin di masa mendatang sebagai penangkal munculnya pandemik seperti saat ini.

Para ilmuan tersebut pun saat ini tengah melakukan pengajuan investigasi dari Administrasi Makanan dan Obat (FDA) AS untuk melakukan uji klinis pada manusia fase I untuk beberapa bulan ke depan.

"Pengujian pada pasien biasanya membutuhkan setidaknya satu tahun dan mungkin lebih lama," kata Falo.

"Situasi khusus ini berbeda dari apa pun yang pernah kita lihat, jadi kita tidak tahu berapa lama proses pengembangan klinis akan berlangsung. Baru-baru ini revisi yang direvisi untuk proses normal menunjukkan kita mungkin dapat memajukan ini lebih cepat," tambahnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA