Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ketegasan Hingga Cinta, Gaya Kepemimpinan Perempuan Menangani Krisis Corona Di Tujuh Negara Ini

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sarah-meiliana-gunawan-1'>SARAH MEILIANA GUNAWAN</a>
LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN
  • Selasa, 14 April 2020, 09:11 WIB
Ketegasan Hingga Cinta, Gaya Kepemimpinan Perempuan Menangani Krisis Corona Di Tujuh Negara Ini
Pemimpin perempuan/Net
rmol news logo Seorang pemimpin perempuan kerap dipandang sebelah mata. Namun, di tengah pandemik yang melanda dunia seperti saat ini, negara-negara yang dipimpin oleh perempuan terbukti bisa mengelola krisis dengan baik.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Mulai dari Islandia hingga ke Taiwan atau Jerman hingga ke Selandia Baru, para pemimpin perempuan menunjukkan kepada dunia kemampuan mereka.

Di sebuah negara besar seperti Jerman, Kanselir Angela Merkel sudah lebih awal dan dengan tenang mengatakan virus corona adalah hal yang serius yang bahkan bisa menginfeksi hingga 70 persen populasi.

Dengan hal tersebut, Jerman mampu melewati fase yang tidak perlu dan sudah memulai lebih awal untuk mempersiapkan diri. Hasilnya, jumlah infeksi di Jerman di bawah negara-negara tetangga Eropa lainnya. Angka kematian di sana pun jauh lebih kecil.

Hal yang sama juga terjadi di Denmark yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mette Frederiksen, Norwegia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Erna Solberg, Finlandia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sanna Marin, Islandia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Katrin Jakobsdottir, Taiwan yang dipimpin oleh Presiden Tsai Ing-wen, hingga Selandia Baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Jacinda Ardern.

Semuanya, tujuh negara tersebut, dipimpin oleh seorang perempuan.

Kepemimpinan seorang perempuan dalam hal menangani krisis adalah yang terbaik, utamanya dalam hal ketegasan, inovasi, hingga kasih sayang.

Misalnya saja Taiwan yang menjadi negara pertama yang paling vokal untuk memperingatkan betapa berbahanya wabah yang pertama kali muncul di Wuhan tersebut, seperti dimuat Forbes

Ketika semua negara masih acuh tak acuh, sejak Januari, Taiwan sudah menyalakan alarm bahaya. Tsai memperkenalkan 124 langkah untuk memblokir penyebaran virus, tanpa menggunakan penguncian yang saat ini diberlakukan oleh banyak negara dan tempat.

Saat ini, Taiwan hadir dengan 393 kasus dan 6 kematian. Angka tersebut sangat kecil meningat letaknya yang sangat dekat dengan China daratan. Taiwan bahkan sekarang mengirim 10 juta masker ke Amerika Serikat dan Eropa.

Kepemimpinan Tsai dalam menangani krisis dikatakan CNN sebagai respons terbaik di dunia.

Aksi yang sama juga dilakukan oleh Jacinda Ardern. Di mana Selandia Baru melakukan penguncian lebih cepat dibanding negara lain. Pada saat itu, Ardern mengatakan: "Tidak boleh ada waktu yang disia-siakan."

Pemberlakuan penguncian di Selandia Baru dimulai ketika angka kasus di seluruh negeri baru mencapai 6 orang. Sejak saat itu, Ardern melarang orang asing untuk masuk.

Saat ini, Selandia Baru bisa menekan angka infeksi menjadi 1.349 kasus dengan 546 orang meninggal dunia.

Dalam hal kemajuan teknologi untuk menangani wabah, Katrin Jakobsdottir mungkin adalah orang yang tepat.

Di bawah pemerintahannya, Jakobsdottir menawarkan pengujian Covid-19 gratis untuk semua warganya. Di mana banyak negara justru terpaksa melakukan sedikit pengujian karena kekuatan alat.

Namun di Islandia, dengan populasi yang proporsonal, mereka mampu melakukan skrining lima kali lebih banyak dari Korea Selatan yang selama ini dipuji-puji oleh banyak pihak.

Dan sebagai seorang perdana menteri termuda di dunia, Sanna Marin tau pentingnya memfilter informasi di tengah pandemik.

Buktinya, pemimpin milenial ini mempelopori penyebaran informasi berbasis fakta untuk pengelolaan pandmeik menggunakan influencer sosial media. Hal yang mungkin tidak dilirik oleh banyak pemimpin dunia yang mempunyai pemikiran cukup kolot.

Berbeda halnya dengan Erna Solberg yang memiliki ide inovatif untuk berbincang langsung dengan anak-anak Norwegia menggunakan televisi.

Solberg mengadakan sebuah konferensi pers khusus di mana tidak ada orang dewasa di sana. Dalam diskusi tersebut, ia menjawab pertanyaan anak-anak dan menjelaskan kepada mereka bagaimana kondisi dunia saat ini.

Ide ini tentu membuat banyak pihak terharu. Hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh seorang pemimpin laki-laki.

Secara umum, empati dan kepedulian yang telah dikomunikasikan oleh semua pemimpin perempuan ini tampaknya berasal secara naluriah.

Bandingkan dengan Donald Trump, Jair Bolsonaro, Lopez Obrador, Narendra Modi, Duterte, Vladimir Putin, atau Benjamin Netanyahu yang lebih mengedepankan cara trifecta otoritarianisme serta aksi menyalahkan orang lain untuk menangani krisis.

Kemampuan, karakter, hingga gaya kepemimpinan seorang perempuan mungkin berbeda. Namun perbedaan tersebut bukan berarti seorang perempuan tidak bisa menjadi seorang pemimpin. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA