Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Keprihatinan Kuba Terhadap Penanganan Covid-19, Kemenlu: Pandemi Ini Perlu Melibatkan Kerja Sama Bukan Politik

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Sabtu, 18 April 2020, 11:19 WIB
Keprihatinan Kuba Terhadap Penanganan Covid-19, Kemenlu: Pandemi Ini Perlu Melibatkan Kerja Sama Bukan Politik
Kuba/Net
rmol news logo Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Kuba dalam rilisnya menyampaikan dampak dari pandemik Covid-19  yang sudah bisa terbaca bagaimana pengaruhnya di masa depan.

Jika dilihat dari banyaknya korban yang terinfeksi, angka kematian yang tinggi, serta kerusakan yang parah bagi perekonomian dunia yang berimbas pada produksi, perdagangan, pekerjaan, dan pendapatan pribadi jutaan orang, maka semua akan sepakat mengatakan ini bukan krisis yang kecil.

“Ini adalah krisis besar yang bukan hanya menimpa sektor kesehatan saja,” ujar Kemenlu Kuba.

Pandemi telah muncul dan menyebar di tengah skenario yang sebelumnya ditandai oleh kesenjangan ekonomi dan sosial yang luar biasa di dalam dan di antara negara-negara.

Covid-19 telah datang ke dunia yang terbebani oleh pola produksi dan konsumsi, terutama di negara-negara industri maju dan di antara para elit negara-negara berkembang.

Sebelum kasus pertama teridentifikasi, ada 820 juta orang menderita kelaparan di seluruh dunia, 2,2 miliar orang tanpa akses ke air bersih, 4,2 miliar tanpa akses ke layanan sanitasi yang dikelola dengan aman, dan 3 miliar tidak memiliki fasilitas dasar untuk mencuci tangan.

Skenario ini menjadi lebih tidak dapat diterima ketika diketahui bahwa secara global sekitar 6,7 miliar dolar dihabiskan setiap tahun hanya untuk iklan, sementara pengeluaran militer berjumlah 1,8 triliun dolar yang sama sekali tidak berguna dalam perang melawan ancaman Covid-19 yang telah mengambil alih kehidupan puluhan ribu orang.

“Virus tidak membeda-bedakan yang kaya dan yang miskin. Namun, dampak yang ditimbulkannya menghancurkan orang-orang yang paling rentan dan yang penghasilan rendah, di negara miskin dan berkembang. Dampaknya makin dirasakan ketika kebijakan neoliberal dan pemotongan belanja sosial membatasi kapasitas administrasi publik negara,” ujar Kemenlu.

Covid-19 telah menimbulkan banyak korban kematian di mana anggaran kesehatan pemerintah telah dipotong. Ini telah menyebabkan lebih banyak kerusakan ekonomi di mana negara memiliki sedikit atau tidak ada pilihan untuk menyelamatkan mereka yang kehilangan pekerjaan, menutup bisnis mereka, atau hilangnya sumber pendapatan pribadi dan keluarga mereka.

Di sebagian besar negara maju, angka kematian lebih tinggi terjadi pada orang-orang miskin, kaum migran, dan di AS terjadi pada orang Afrika-Amerika dan Latin.

Masyarakat internasional harus menghadapi ancaman global ini sementara kekuatan militer, ekonomi, teknologi, dan komunikasi terbesar di dunia menerapkan kebijakan luar negeri yang berupaya menghasut dan mempromosikan konflik, perpecahan, chauvinisme dan posisi supremasi dan rasis.

Ketika Dunia tengah berupaya melawan pandemi Covid-19 yang membutuhkan peningkatan kerja sama dan peran utama organisasi internasional, khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),  pemerintah AS malah sedang menyerang multilateralisme dan berupaya untuk mendiskualifikasi kepemimpinan yang telah mapan dari WHO.

AS  juga menegaskan dalam strategi politiknya, untuk mengambil keuntungan dari keadaan ini, untuk memaksakan dominasinya, dan menyerang negara-negara yang pemerintahnya memiliki perbedaan.

Contohnya adalah ancaman militer baru-baru ini terhadap Republik Bolivarian Venezuela yang diumumkan oleh Presiden AS, pada ‘Pan American Day’, 14-18 April, serta adanya kebijakan Doktrin Monroe.

Menurut Kemenlu Kuba, contoh lainnya yaitu serangan tidak bermoral dan gigih terhadap upaya tanpa pamrih Kuba untuk membantu negara-negara yang telah meminta kerja sama dalam perang melawan Covid-19.  

“Alih-alih mempromosikan kerja sama dan respons kolektif, pejabat tinggi Departemen Luar Negeri AS malah mengeluarkan pernyataan yang mengancam pemerintah.”

Belakangan, Kuba telah menerima permintaan kerja sama dengan 60 negara yang kini telah bergabung dalam upaya memerangi Covid-19. Kuba membagikan obat-obatan yang diproduksi oleh Kuba yang telah terbukti efektif dalam pencegahan atau terapi terhadap penyakit.

Kuba akan terus bekerja walau ada batasan besar yang dipaksakan oleh blokade ekonomi, komersial, dan keuangan AS.

Contoh baru-baru ini adalah kargo bantuan dari Tiongkok yang tidak dapat dikirim ke Kuba karena larangan dari blokade AS.

Sudah menjadi rahasia umum dan dibuktikan secara luas bahwa blokade ekonomi adalah hambatan utama bagi pembangunan, kemakmuran, dan kesejahteraan Kuba.

Kuba meyakini bahwa masa-masa ini membutuhkan kerja sama dan solidaritas. Kuba sangat percaya peran dan kepemimpinan PBB serta WHO sangat diperlukan.

“Jika kita bertindak bersama, penyebaran virus akan dihentikan, dengan cara yang lebih cepat dan lebih hemat biaya. Kita menghadapi krisis ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh pandemi, namun, kita tidak diam menunggu hingga persoalan menjadi kian menumpuk sebelum pandemi merenggut nyawa pertama.”

Hampir tidak dapat diharapkan bahwa akhir dari pandemik ini akan mengarah pada dunia yang lebih adil, aman, dan layak jika komunitas internasional, yang diwakili oleh pemerintah masing-masing negara, tidak maju terus untuk menyetujui dan mengadopsi keputusan yang telah terbukti sulit dipahami sejauh ini.

Demikian pula, akan muncul pertanyaan tentang seberapa siap manusia untuk menghadapi pandemi berikutnya.

“Masih ada waktu untuk bertindak dan memobilisasi kehendak mereka yang bertanggung jawab. Jika kita menyerahkannya kepada generasi mendatang, mungkin sudah terlambat,” ujar Kemenlu. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA