Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Amnesty International: Di Bawah Rezim Mesir, Jurnalisme Bisa Jadi Kejahatan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Minggu, 03 Mei 2020, 10:32 WIB
Amnesty International: Di Bawah Rezim Mesir, Jurnalisme Bisa Jadi Kejahatan
Ilustrasi/Net
rmol news logo Jurnalisme di Mesir secara efektif telah menjadi kejahatan selama empat tahun terakhir. Begitu kata Amnesty International dalam sebuah pernyataan akhir pekan ini.

Terlebih, di tengah pandemi virus corona seperti yang saat ini terjadi, alih-alih menegakkan transparansi, pemerintah Mesir justru memperkuat kontrolnya atas informasi.

"Pihak berwenang Mesir telah memperjelas bahwa siapa pun yang menentang narasi resmi akan dihukum berat," kata direktur Timur Tengah dan Afrika Utara Amnesty International, Philip Luther (Minggu, 3/5).

Lembaga yang berbasis di London, Inggris itu mendokumentasikan 37 kasus wartawan yang ditahan dalam tindakan keras pemerintah yang meningkat terhadap kebebasan pers beberapa waktu belakangan.

Banyak di antara mereka yang dituduh menyebarkan berita palsu atau menyalahgunakan media sosial di bawah hukum kontraterorisme 2015. Hukum tersebut memperluas definisi teror untuk memasukkan semua jenis perbedaan pendapat di dalamnya.

Meski demikian, pihak berwenang Mesir sebelumnya kerap kali membantah soal adanya pelanggaran HAM dan menekankan soal keamanan nasional terkait dengan penangkapan yang dilakukan.

The Guardian (Minggu, 3/5) mengabarkan, setelah Abdel Fattah el-Sisi naik menjadi presiden pada tahun 2013 lalu, sebagian besar program televisi dan surat kabar Mesir telah mengambil posisi pemerintah dan menghindari kritik, atau menghilang.

Selain itu, banyak outlet berita swasta Mesir yang telah diakuisisi secara diam-diam oleh perusahaan yang berafiliasi dengan dinas intelijen negara tersebut.

Laporan Amnesty International terbaru menyebut, meski banyak suara pro-pemerintah di media, masih ada 12 wartawan yang bekerja untuk outlet media milik negara yang dijebloskan ke penjara karena mengekspresikan berbagai pandangan pribadi di media sosial.

Salah satunya adalah Atef Hasballah, pemimpin redaksi situs web AlkararPress. Bulan lalu, di akun Facebooknya dia menentang hitungan kasus infeksi virus corona terbaru versi Kementerian Kesehatan Mesir.

Tidak lama berselang, dia ditangkap oleh polisi dan ditahan karena tuduhan bergabung dengan organisasi teroris.

Penuntut umum Mesir memperingatkan dalam sebuah pernyataan baru-baru ini bahwa mereka yang menyebarkan berita palsu tentang virus corona dapat menghadapi hukuman penjara lima tahun dan denda yang tinggi.

Sementara itu, pada bulan lalu, masih kata laporan yang sama, pihak berwenang Mesir telah memblokir situs berita lokal yang meliput seruan oleh para aktivis untuk membebaskan tahanan politik karena kekhawatiran virus corona menyebar di penjara-penjara yang ramai di Mesir.

Secara terpisah, Mesir mengusir koresponden Guardian atas sebuah artikel yang mengindikasikan tingkat infeksi virus corona mungkin lebih tinggi dari yang dilaporkan secara resmi.

Selain itu, para wartawan yang diwawancarai oleh Amnesty International mengaku bahwa intervensi negara sangat kuat dalam peliputan mereka.

Mereka kerap menerima instruksi khusus melalui WhatsApp tentang apa yang harus dilaporkan dan dihilangkan dalam laporan.

Misalnya, arahan tentang bagaimana bersikap soal proposal Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina tahun ini, dan meminta wartawan untuk tidak menyebutkan rencana pelanggaran kebijakan Arab yang sudah lama ada, karena Trump dan el-Sisi telah memupuk hubungan dekat.

Mereka yang tidak mengikuti arahan resmi sangat berpotensi kehilangan pekerjaan, diinterogasi atau dipenjara. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA