"Saya masih hidup," kata putra Kajol, Monorom Polok, menirukan suara ayahnya ketika pertama kali bertemu pasca menghilang.
Sang wartawan diketahui menghilang pada awal Maret lalu, sehari setelah sebuah kasus diajukan terhadapnya dan 31 orang lainnya di bawah Undang-Undang Keamanan Digital baru yang kontroversial di negara itu.
Dia dituduh menggar UU tersebut dengan unggahan-unggahannya di Facebook yang mengkritik keras pemerintah Bangladesh.
Kelompok HAM Amnesty International menyebut, penahanannya dilakukan setelah dia mengunggah tulisan yang mengkritik dugaan cincin perdagangan seks yang dijalankan oleh seorang pejabat di Liga Awami yang berkuasa.
Pihak keluarga pun tidak mengetahui keberadaan Kajol sejak saat itu.
Namun setelah dia ditangkap oleh polisi Bangladesh baru-baru ini, pihak keluarga bergegas untuk menemuinya. Namun mereka hanya memiliki waktu sangat singkat untuk menemui Kajol.
"Dia (Kajol) takut, dia khawatir, dia menangis dan mengucapkan setiap satu atau dua kalimat," kata Polok.
Sementara itu, Amnesty International mengatakan, Kajol menghadapi tujuh tahun penjara di bawah undang-undang keamanan digital Bangladesh. Keluarganya telah meminta pihak berwenang untuk membebaskannya untuk melindunginya dari ancaman virus corona Covid-19 di dalam penjara yang penuh sesak di Bangladesh.
"Kita tidak bisa tidur, kita tidak bisa makan karena dia rentan," kata Polok, seperti dimuat
The Guardian (Jumat, 8/5).
Dia mengaku dirinya dan keluarganya khawatir karena mereka masih tidak tahu di mana ayahnya berada selama hampir dua bulan terakhir.
"Ayah saya bukan penjahat, dia hanya dituntut dan tidak satu pun dari dakwaan ini adalah kejahatan kekerasan," katanya.
"Kami tidak tahu di penjara-penjara yang ramai di Bangladesh berapa lama dia bisa menjauh dari virus corona," sambung Polok.
Kelompok kebebasan pers Reporter Sans Frontieres (RSF) mengatakan bahwa penangkapan Kajol sangat mengejutkan.
"Kami menyerukan kantor kejaksaan Bangladesh untuk memerintahkan pembebasan segera wartawan ini dan menunjuk tim penyelidik yang serius untuk menetapkan bagaimana ia diculik selama ini, yang sangat misterius," kata kepala RSF Asia-Pasifik Daniel Bastard.
Untuk diketahui, sejak UU Keamanan Digital yang kontroversial diterapkan di Bangladesh tahun 2018 lalu, ada setidaknya 1.000 kasus yang telah diajukan. Menurut kelompok monitor HAM Bangladesh Odhikar, sebagian besar kasus itu digunakan oleh para politisi dan pengusaha.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: