Seruan tersebut muncul pada Jumat (22/5). Di mana para aktivis meminta warga untuk berkumpul pada siang hari untuk melakukan unjuk rasa di Kantor Penghubung China.
Belum diketahui apakah unjuk rasa akan terwujud mengingat adanya pandemik virus corona baru. Namun tampaknya kerusuhan di Hong Kong akan kembali dimulai.
Melansir
Reuters, pada 2003, rencana yang yang sama pernah digaungkan China. Rencana untuk mengadopsi UU yang serupa tersebut membuat sekitar setengah juta orang turun ke jalan-jalan hingga akhirnya langkah tersebut ditangguhkan.
Aktivis dan politisi pro-demokrasi sudah bertahun-tahun menentang gagasan UU keamanan nasional. Alasannya tentu karena dapat mengikis otonomi Hong Kong yang dijamin di bawah perjanjian "satu negara, dua sistem".
Para anggota parlemen pro-demokrasi Hong Kong mengecam rencana tersebut dengan menggambarkannya sebagai "akhir Hong Kong".
Rencana UU keamanan nasional di Hong Kong diumumkan dalam agenda pertemuan parlemen China pada Jumat. Pengumuman tersebut juga sudah menarik perhatian Amerika Serikat.
Departemen Luar Negeri AS memperingatkan, otonomi tingkat tinggi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan kunci untuk mempertahankan status Hong Kong.
Surar kabar
China Daily pada Kamis (21/5) menyebutkan, UU tersebut akan lebih melindungi pembangunan Hong Kong.
"Reaksi berlebihan dari para perusuh dan pendukung asing mereka, yang melihat undang-undang seperti itu sebagai duri di pihak mereka, hanya bersaksi tentang ketepatan keputusan dan kebutuhan mendesak untuk undang-undang tersebut," tulis surat kabar tersebut.
Pada 2019, Hong Kong sendiri mengalami demonstrasi besar-besaran yang dipicu RUU Ekstradisi ke China. Demonstrasi tersebut baru berakhir ketika muncul pandemik Covid-19.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: