Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menilik Gaya Bahasa Dehumanisasi Hong Kong Dan China Terhadap Demonstran, Langkah Menuju Genosida?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sarah-meiliana-gunawan-1'>SARAH MEILIANA GUNAWAN</a>
LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN
  • Kamis, 04 Juni 2020, 09:00 WIB
Menilik Gaya Bahasa Dehumanisasi Hong Kong Dan China Terhadap Demonstran, Langkah Menuju Genosida?
Seorang demonstran saat ditangkap oleh polisi Hong Kong/Net
rmol news logo Ada delapan tahapan genosida menurut Pendiri Genocide Watch, Gregory Stanton. Tahap keempat adalah "dehumanisasi", di mana satu kelompok menyangkal kemanusiaan kelompok lain. Dalam tahap ini, satu kelompok bisa menyamakan kelompok lain sebagai "hama" hingga "penyakit".
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Sayangnya, tahap dehumanisasi tampaknya sedang terjadi di Hong Kong saat ini, terhadap para demonstan.

Sophie Mak seorang akademisi hukum dan literasi di Universitas Hong Kong mencoba mengalisis gaya bahasa yang digunakan oleh pihak berwenang (Hong Kong dan China) terhadap para demonstran.

Hasil analisisnya tersebut ia tuangkan dalam sebuah artikel bertajuk "How China is dehumanising democrats in Hong Kong" yang dipublikasi Spectator, Kamis (28/5).

Dalam artikel tersebut, Mak mengatakan, gaya bahasa kebinatangan dan tidak manusiawi kerap dipakai oleh pasukan polisi, pemerintah Hong Kong, hingga Partai Komunis China.

Dalam beberapa rekaman video, polisi Hong Kong kerap menyebut para demonstran sebagai "kecoak".

"Kamu bahkan tidak layak jadi binatang. Ingat, kamu bukan manusia, kamu adalah seekor kecoak," ujar seorang polisi anti huru hara sebelum menembakkan gas air mata di sebuah jembatan di Hong Kong pada November 2019.

"Orang-orang rendahan seperti itu (demonstran) hanya bisa disebut dengan nama serangga yang paling takut pada cahaya. Kecoak," ujar ketua Asosiasi Petugas Polisi Junior dalam sebuah pernyataan pada Juli 2019.

Sementara itu, seorang anggota polisi pada Desember 2019 mengaku, sebutan "kecoak" adalah pujian dan kasih sayang. Ia menyindir, kecoak adalah istilah yang positif karena serangga tersebut bisa bertahan hidup dalam kondisi yang buruk sekalipun.

Sebutan "kecoak" untuk para demonstran Hong Kong bukan hanya terlontar dari polisi, namun juga para nasionalis dari Partai Komunis China.

Media milik pemerintah China, seperti Xinhua bahkan pernah mempublikasikan sebuah kartun propaganda lewat Facebook. Kartun tersebut mengecam para demonstran yang digambarkan dengan "kecoak" yang menginjak warga tidak berdosa.

Selain "kecoak", istilah lain yang disangkutpautkan dengan para demonstan Hong Kong adalah "virus politik". Istilah tersebut muncul di tengah pandemik virus corona baru yang melanda dunia.

Pada 5 Mei 2020, Kantor China untuk Urusan Hong Kong dan Makau dalam pernyataannya mengungkapkan para demonstan adalah "virus politik" yang harus dibasmi.

Penggunaan "virus" sendiri bukan sekali ini dipakai oleh China.

Sebelumnya, dalam dokumen-dokumen Partai Komunis yang bocor mengenai pelanggaran HAM di Xinjiang, China menyebut etnis UIghur sebagai orang-orang yang pikirannya sudah "terinfeksi". Alhasil, itu membuat pemerintah membenarkan perlunya penahanan massal dengan kedok kamp-kamp kejuruan.

Dalam artikelnya, Mak mengungkapkan kekhawatiran akan adanya genosida terhadap demonstran Hong Kong. Apalagi, Stanton pernah mengungkapkan, genosida adalah sesuatu yang dapat diprediksi, namun tidak dapat dicegah.

"Sejarah memberi tahu kita bahwa menyamakan orang dengan binatang sering kali merupakan awal dari kekerasan massal dan genosida," tulis Mak.

Ketika pelabelan sebagai hewan hingga penyakit digunakan, Mak mengatakan, akan muncul iklim ketakutan dan kebencian dari masyarakat.

"Bagaimanapun, mungkin sulit bagi kita untuk membunuh sesama manusia, tetapi kita menginjak 'serangga' tanpa kompromi dan kita tidak ragu untuk mencoba dan menyingkirkan penyakit," tulisnya.

"Begitu seseorang tidak manusiawi, lebih mudah bagi kita untuk menyangkal rasa hormat dan kasih sayang yang biasanya kita berikan kepada manusia lain dan itu juga merilekskan keengganan naluriah kita untuk agresi dan kekerasan," tambahnya.

Jika menilik lebih jauh, metode serupa juga pernah dilakukan terhadap Tutsi di Rwanda maupun terhadap orang Yahudi saat Nazi Jerman. Keduanya adalah contoh nyata bagaimana pelabelan digunakan untuk memuluskan genosida.

Orang-orang Tutsi di Rwanda sebelum mendapat genosida, telah dilabeli dengan istilah "inyenzi" atau kecoak. Sementara itu, orang Yahudi di Jerman disamakan dengan "kutu" dan "penyakit".

"Tuberkulosis, Sifilis dan Kanker dapat disembuhkan. Kita harus menyelesaikan kutukan terbesar: Orang Yahudi!" begitu slogan Nazi dulu.

Mak menjelaskan, dehumanisasi memiliki fungsi untuk menonaktifkan sentimen moral kita. Dalam mendehumanisasi sekelompok orang, kelompok korban akan dikeluarkan dari lingkaran kewajiban moral timbal balik.

"Kelompok sasaran akan menjadi masalah yang menuntut tindakan segera, di mana solusi biologis, seperti membunuh atau memusnahkan, menjadi suatu kebutuhan," paparnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA