Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Insiden Brooks Tidak Sama Dengan Floyd, Tetapi Mereka Disamakan Oleh Narasi Yang Keliru, 'Polisi Rasis'

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Selasa, 16 Juni 2020, 12:03 WIB
Insiden Brooks Tidak Sama Dengan Floyd, Tetapi Mereka Disamakan Oleh Narasi Yang Keliru, 'Polisi Rasis'
Pendemo membawa tulisan/net
rmol news logo Sebuah insiden yang berbeda akan menjadi sama bagi sekelompok orang yang senang menciptakan narasi yang keliru. Ini terjadi pada narasi 'rasisme sistemik' yang tengah menampar kepolisian Amerika Serikat.

Insiden yang terjadi pada Rayshard Brooks amat berbeda dengan yang terjadi pada George Floyd. The Patriot Post menulis bagaimana situasi kedua insiden itu jauh berbeda.  

Pada Jumat (12/6) di Atlanta, petugas menerima pangaduan tentang adanya seorang pria yang (diduga) mabuk dan tertidur di dalam mobilnya di jalur drive-through Wendys Restoran. Ketika petugas pertama tiba, ia menemukan pria kulit hitam bernama Rayshard Brooks tertidur di dalam kendaraannya mulai membangunkannya. Petugas itu dengan ramah membimbing Brooks untuk memindahkan kendaraannya dari jalur drive-throug ke tempat parkir. Kemudian dengan ramah pula petugas menanyai Brooks. Kemudian datanglah petugas yang kedua.

Petugas yang kedua memberikan beberapa tes untuk mengetahui apakah Brooks dalam pengaruh alkohol atau tidak. Percakapan itu berlangsung baik. Namun, Brooks gagal lolos tes. Dengan begitu petugas berhak melakukan penangkapan.

Dalam artikelnya, The Patriot Post juga menyertakan video dari dua arah yang memperlihatkan semua pergerakan kejadian tersebut. Dalam video jelas terlihat bagaimana polisi bersikap baik dan ramah kepada Brooks.

Polisi mengatakan kepada Brooks, karena ia tidak lolos tes maka ia harus ditangkap. Saat itu Brooks diam saja. Polisi kemudian mulai memborgol tangan Brooks. Namun, tiba-tiba Brooks berontak melawan. Dua polisi berusaha menahannya. Namun, tubuh besar Brook mampu melepaskan diri dari petugas, bahkan sempat merebut senjata taser milik polisi. Brooks mengarahkan taser itu kepada salah satu polisi, mengakibatkan polisi itu terjatuh.

Brooks berlari, petugas mengejar. Aksi kejar-kejaran berlangsung singkat sampai kemudian salah seorang polisi menembak Brooks bermaksud melemahkannya.

Brooks kemudian dilarikan ke rumah sakit. Brooks meninggal karena luka tembak saat dioperasi di rumah sakit. Itu adalah kematian tragis yang bisa dihindari jika Brooks tidak melawan saat penangkapan.

Di sinilah kemudian orang-orang menciptakan narasi yang keliru. Karena kedua petugas yang terlibat dalam insiden itu berkulit putih, tidak mengejutkan, itu telah digunakan oleh massa keadilan sosial dan aktivis Black Lives Matter sebagai 'bukti' yang menggarisbawahi narasi 'rasisme sistemik' mereka yang keliru.

Walikota Demokrat Atlanta Keisha Lance Bottoms ternyata mendukung narasi yang keliru itu. Ia bahkan mengumumkan bahwa kepala polisi kota itu, Erika Shields, mengundurkan diri. Dia juga menyerukan kepada perwira yang menembak Brooks untuk dipecat.

"Saya tidak percaya bahwa ini adalah penggunaan kekuatan yang dapat dibenarkan dan telah memerintahkan agar petugas itu segera diberhentikan," kata Bottoms.

Garrett Rolfe akhirnya benar-benar dipecat dan menghadapi tuduhan pembunuhan, petugas satunya dimutasi ke tempat lain.

Pasca penembakan, restoran Wendy di mana insiden itu terjadi dibakar oleh perusuh.

Rekaman kejadian telah dirilis. Demikian juga rekaman dari kamera keamanan restoran Wendy. Keduanya dengan jelas menunjukkan bahwa Brooks bertindak sebagai agresor.

Beberapa berpendapat bahwa petugas bernama Rolfe telah penggunakan kewenangannya menembak Brooks dan itu tidak dibenarkan, mengingat fakta bahwa Brooks mengacungkan dan menembak taser, yang oleh banyak orang dianggap tidak mematikan, sementara Rolfe menggunakan senjata mematikan.

Di dalam dokumen Departemen Kepolisian Atlanta, disebutkan bahwa seorang perwira dapat menggunakan kekuatan mematikan.

"Ketika dia cukup percaya bahwa tersangka memiliki senjata mematikan atau benda, alat, atau instrumen yang, yang jika digunakan secara ofensif terhadap seseorang, kemungkinan untuk atau benar-benar mengakibatkan cedera tubuh yang serius, dan ketika dia cukup percaya bahwa tersangka menimbulkan ancaman langsung cedera tubuh yang serius kepada petugas atau orang lain", bunyi dokumen tersebut.

Jadi, apakah tindakan aparat bernama Rolfe dibenarkan?

"Kami pikir begitu. Terlebih lagi, yang juga jelas dari rekaman itu, adalah bahwa ras tidak ada hubungannya dengan tindakan para perwira. Siapa pun yang berjuang dengan petugas yang menangkap, mengambil senjata petugas (apakah dianggap mematikan atau tidak), dan mulai berlari sambil menembaki petugas itu, akan menemui nasib yang sama," tulis The Patrioit Post.

"Ini adalah contoh di mana polisi hanya berusaha melakukan pekerjaan mereka dengan cara mereka dilatih. Situasi yang tampaknya jinak tiba-tiba meningkat menjadi perjuangan hidup dan mati oleh Brooks, bukan oleh petugas yang menangkap!" tegas media itu.

Perlu dicermati dari dua peristiwa Floyd dan Brooks. Jika saja Floyd ditangkap oleh dua perwira Atlanta ini, Floyd tentu masih hidup sampai hari ini.

Sayangnya, narasi yang sedang naik daun saat ini tentang 'polisi rasis' telah mengingkari fakta semua itu. Tidak mengherankan jika petugas polisi di seluruh negara memutuskan bahwa itu tidak layak untuk mereka, lalu mengundurkan diri.  rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA