Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Peringati Hari Kemerdekaan Madagaskar Ke-60 Tahun, Presiden Rajoelina Sampaikan Saatnya Perang Lawan Kemiskinan Dan Distorsi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Sabtu, 27 Juni 2020, 21:55 WIB
Peringati Hari Kemerdekaan Madagaskar Ke-60 Tahun, Presiden Rajoelina Sampaikan Saatnya Perang Lawan Kemiskinan Dan Distorsi
Peringatan ke-60 Kembalinya Kemerdekaan. Awal parade akbar dan ulasan pasukan di Independence Avenue/Net
rmol news logo Madagaskar merayakan hari kemerdekaannya yang ke-60 di tengah kekhawatiran akan wabah virus corona. Pawai sederhana dari barisan militer di depan balai kota, di pusat Kota Antananarivo, terlihat berwarna-warni dengan barisan kata 'Madagaskar Tanah Airku, Hidupku, Warisanku'.

Presiden Madagaskar Andry Rajoelina, memimpin upacara perayaan yang dilakukan dengan beberapa pembatasan karena kekhawatiran akan Covid-19. Pasukan berbaris di jalan-jalan mengiringi presiden yang berpawai dengan mengendarai cadillac antiknya.

Beberapa pejabat hadir dengan mengenakan masker. Diperkirakan ada sekitar 250 undangan yang hadir, termasuk kepala lembaga, misi diplomatik, kelompok etnis, dan lima menteri, yang diizinkan menghadiri parade militer.

Parade ini dilarang untuk umum karena aturan protokoler kesehatan, dan meminta agar rakyat menikmatinya lewat televisi di rumah.

Ada 3.120 tentara, 150 mobil, delapan pesawat dan 90 sepeda motor berpartisipasi dalam parade militer, yang dipimpin oleh Jenderal William Andriamasimanana.

Parade ini juga dibedakan dengan kehadiran partisipasi dari brigade intervensi khusus Covid-19 Madagaskar, dikutip dari Africa News, Sabtu (27/6).

Selama pidato nasionalnya, presiden Madagaskar menyampaikan harapan terbaiknya kepada semua orang Malagasi.

"Pertarungan yang kita lakukan sekarang adalah perang melawan kemiskinan, perang melawan distorsi antara orang-orang Malagasi," kata Rajoelina dalam pidatonya.

Walaupun dalam perayaan kemerdekaan ini terpancar kebahagiaan, namun tidak dipungkiri beberapa kalangan masih menyimpan kenangan luka akan penderitaan di masa lalu di bawah penguasa kolonial. Rasa sakit yang tersimpan yang coba untuk disalurkan lewat tekad persatuan dan semangat memajukan negeri.

Randriamamonjy, seorang pejuang pro-kemerdekaan, mengungkapkan kenangannya akan luka dan sedih itu.

“Setiap pagi mereka memaksa kami naik ke atas bukit. Orang Senegal dengan orang Prancis berjaga-jaga dengan senapan, lalu mencambuk kami seolah-olah kami keledai yang sedang menarik gerobak," katanya saat memberikan sambutannya.

"Mereka membuat kami berjalan di tanah yang kasar, lagi dan lagi. Sampai kulit kami robek. Bahkan saya masih menyimpan bekas lukanya, di lutut dan di punggung, sampai saat ini. Dan orang-orang Senegal bertanya, 'Apakah kamu sudah menyerah?' Saya akan mengatakan, 'Saya lebih baik mati bersama saudara-saudara saya.'"

Pemberontakan Malagasi terhadap Prancis meletus pada 1947 selama dua tahun dan telah menghilangkan nyawa ratusan orang. Beberapa mati karena kelaparan dan kedinginan setelah melarikan diri ke hutan.

Pada Mei 1947, Prancis mulai melawan kaum nasionalis. Prancis menambah tiga kali lipat jumlah pasukan di pulau itu menjadi 18.000, terutama dengan mentransfer tentara dari koloni Prancis di tempat lain di Afrika. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA