Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Peneliti Asing Soroti Program Deradikalisasi Di Indonesia, Cukup Efektifkah Atau Hanya Buang-buang Anggaran?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Rabu, 01 Juli 2020, 14:36 WIB
Peneliti Asing Soroti Program Deradikalisasi Di Indonesia, Cukup Efektifkah Atau Hanya Buang-buang Anggaran?
Ilustrasi/Net
rmol news logo Program rehabilitasi yang dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi pembahasan beberapa pengamat asing. Apakah program ini berjalan sesuai harapan?

Peneliti pada Galatea, Ulta Levenia dan Alban Sciascia, dalam artikelnya mengemukakan fakta bahwa ternyata tidak semua teroris diwajibkan mengikuti program deradikalisasi.

Misalkan saja contohnya terjadi pada seorang terpidana teroris Karyono Widodo yang pada 20 Juni lalu menyerang wakil kepala polisi Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dengan pisau. Widodo adalah anggota jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD ). Widodo dijatuhi hukuman pada 2016 karena perannya dalam serangan teroris Jakarta pada Januari 2016, di mana dia mendukung JAD untuk mendapatkan senjata dan peralatan. Selama di penjara, Widodo menolak untuk mengikuti program rehabilitasi dan deradikalisasi, yang telah ditetapkan oleh BNPT.

"Itu bukan pertama kalinya seorang terpidana teroris memutuskan untuk tidak mengikuti program semacam itu. Faktanya, penelitian lapangan kami dengan petugas penegak hukum dan mantan napi teroris menunjukkan bahwa program saat ini layak untuk diaudit," tulis kedua peneliti itu.

"Beberapa orang berpendapat bahwa ide tentang program dan pendekatannya tidak disesuaikan dengan audiensnya. Pada kenyataannya, program deradikalisasi bukanlah program wajib, dan para tahanan dapat menolak untuk berpartisipasi.

BNPT dan LSM telah ditunjuk untuk menjalankan program deradikalisasi dan rehabilitasi di penjara. Dalam menjalankan program ini, BNPT dan LSM menggunakan dua pendekatan untuk melakukannya.

Yang pertama adalah pendekatan pribadi. Mantan narapidana yang dianggap telah berhasil direhabilitasi secara pribadi bisa mendekati tahanan terorisme lainnya untuk membujuk mereka ikut berpartisipasi dalam program deradikalisasi.

Pendekatan bisa saja berhasil dilakukan kepada mereka yang pemahamannya terhadap teroris masih melah sehingga mudah dibujuk. Namun, pendekatan ini tidak banyak berhasil dalam membentuk kembali ideologi para terpidana teroris garis keras.

Sebagai contoh, pada tahun 2016, seorang mantan teroris terkenal dipekerjakan sebagai konsultan oleh program deradikalisasi di penjara Malang. Ketika dihadapkan dengan tahanan dengan latar belakang ideologis yang kuat, mantan teroris itu malah dipukuli oleh para tahanan karena ia dianggap pengkhianat.

Alih-alih menyelesaikan misi program, mengandalkan mantan teroris hanya akan meningkatkan kemarahan napi yang paling radikal. Sehingga hanya sedikit yang mau berpartisipasi dalam program ini jika dengan melakukan itu mereka juga akan dianggap sebagai pengkhianat oleh jaringan mereka sendiri.

Pendekatan kedua adalah mengusulkan peluang yang menguntungkan jika para napi bersedia berpartisipasi dalam program deradikalisasi. Secara teori, program deradikalisasi memberi tahanan kesempatan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat (PB), komunikasi dengan keluarga mereka, dan kunjungan selama waktu mereka di penjara, dan dukungan ekonomi setelah pembebasan.

Namun, bisa saja semua tawaran itu oleh mereka. Mereka tetap tidak mau berpartisipasi dalam program deradikalisasi.

Pendekatan dengan mengusulkan peluang ini juga memiliki kelemahan.

"Selama penelitian kami di Surabaya setelah pemboman 2018, kami bertemu dengan seorang pria bernama David, seorang terpidana teroris yang telah dibebaskan dari penjara Nusa Kambangan. Sementara David mengikuti program deradikalisasi dan rehabilitasi, dia menyatakan betapa putus asanya dia ketika segala janji-janji yang dibuat BNPT tidak bisa dipenuhi lagi.  Namun, tim dari BNPT mengunjunginya pada beberapa kesempatan, menjanjikan lebih banyak bantuan yang tidak pernah terwujud," tulis  Ulta Levenia dan Alban Sciascia.

Akhirnya, David kembali lagi kepada dunia radikalnya. Ia bergabung kembali dengan jaringan teroris lamanya, yang menawarkan untuk memberikan dukungan keuangan bagi David dan ibunya.

Untungnya, seorang perwira polisi setempat yang bertugas mengawasi David memutuskan untuk mendekatinya dan menawarkan dukungannya untuk membantunya memutuskan hubungan dengan mantan sel terorinya.

"Kasus David menunjukkan kelemahan dari pendekatan ini, dan kebutuhan yang jelas akan akuntabilitas dalam program deradikalisasi dan rehabilitasi BNPT. Ini jauh dari satu-satunya kasus di mana imbalan yang dijanjikan belum dikirimkan," sebut kedua peneliti itu.

Keberhasilan rehabilitasi mantan tahanan teroris sangat penting bagi keamanan regional Indonesia dan juga untuk keamanan global.

"Di penjara, ideologi radikal dapat diperkuat oleh sekelompok terpidana teroris; itu juga bisa menyebar ke narapidana lain. Tren ini bahkan lebih mengkhawatirkan setelah informasi baru-baru ini diterima dari beberapa penjara, menunjukkan bahwa para tahanan mengambil keuntungan dari program deradikalisasi sebagai cara untuk mendapatkan insentif yang ditawarkan, tanpa adanya itikad baik.

"Strategi ini adalah bagian dari khotbah dari pemimpin JAD Abu Bakar Ba'asyir tahun lalu, mendorong narapidana untuk mendapatkan manfaat dari program deradikalisasi tanpa sungguh-sungguh mengikutinya," sebut para peneliti itu.

Kedua peneliti itu berkeseimpulan, bahwa menyiapkan dan menjalankan program deradikalisasi yang efektif memang pekerjaan yang sulit. Namun, mengevaluasi program dan mempertahankannya dapat meningkatkan efektivitas deradikalisasi di Indonesia.

"Jika tidak, kita hanya bisa mengharapkan lebih banyak residivisme dari mantan narapidana. Orang-orang seperti Juhanda (pemboman gereja Samarinda), Chalid Basemele, Rullie dan Ulfah (pemboman gereja Jolo), Harry Kuncoro, Karyono Widodo (serangan Karanganyar), dan mantan tahanan yang saat ini berada di kamp-kamp Suriah adalah bukti yang cukup kuat, bahwa deradikalisasi dan program rehabilitasi yang dijalankan BNPT tidak berjalan dan tidak dapat menanggulangi permasalahan terorime," tegas para peneliti.

Padahal, program deradikalisasi memakan banyak anggaran. Indonesia membutuhkan kematangan dalam startegi kontraterorisme agar anggaran tidak sia-sia. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA