Film dokumenter yang bertajuk
"Locked up in Malaysia's Lockdown" tersebut diproduksi oleh 101 East, stasiun televisi yang berbasis di Qatar.
Film tersebut dirilis pada pekan lalu, menunjukkan ribuan migran tanpa dokumen yang ditahan selama penggerebekan ketika Malaysia berada di bawah aturan
movement control order (MCO), perintah kontrol gerakan.
Usai dirilis, film tersebut memicu reaksi keras dari banyak pihak. Para pejabat Malaysia mengecam film tersebut tidak akurat, menyesatkan, dan tidak adil.
Melansir
Reuters, Menteri Pertahanan Ismail Sabri Yakoob pada pekan ini meminta
Al Jazeera untuk meminta maaf kepada warga Malaysia dan mengatakan tuduhan rasisme serta diskriminasi terhadap migran tanpa dokumen tidak benar.
Inspektur Jenderal Polisi Abdul Hamid Bador pada Selasa (7/7) mengatakan, pihaknya akan memanggil staf
Al Jazeera sebagai bagian dari penyelidikan setelah beberapa pengaduan diajukan terhadap film dokumenter tersebut.
"Adalah tanggung jawab polisi untuk menyelidiki apakah ada unsur penghasutan atau kesalahan," ujarnya.
Secara terpisah pada hari yang sama, Departemen Imigrasi Malaysia mengeluarkan pemberitahuan pencarian untuk seorang warga negara Bangladesh yang nama dan wajahnya cocok dengan seorang migran yang diwawancarai dalam film dokumenter tersebut.
Sementara itu,
Al Jazeera belum memberikan komentar.
Penyelidikan terkait dengan film dokumenter yang menampilkan penahanan migran tanpa dokumen tersebut disebut-sebut sebagai tindakan keras pemerintah untuk membungkam perbedaan pendapat.
Pada Mei, seorang jurnalis dari
South China Morning Post yang berbasis di Hong Kong diinterogasi oleh polisi mengenai laporannya mengenai penangkapan migran.
Sentimen publik Malaysia terhadap para migran dan orang asing sendiri mumburuk, mereka dituding telah menyebarkan virus corona baru dan membebani sumber daya negara.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: