Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pandemik Covid-19 Bagi Anak-anak Afghanistan: Kerja Jadi Buruh Atau Menikah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Rabu, 08 Juli 2020, 06:41 WIB
Pandemik Covid-19 Bagi Anak-anak Afghanistan: Kerja Jadi Buruh Atau Menikah
Anak-anak Afghanistan bekerja membantu orangtua sebagai buruh atau mengumpulkan sampah/Net
rmol news logo   Di tengah pandemik, tidak terlihat lagi anak-anak di Afghanistan yang bermain di pekarangan rumah bersama temannya. Suasan perkampungan senyap, bukan karena anak-anak itu menderita masalah kesehatan. Hanya sedikit anak-anak di Afghanistan yang terdampak masalah kesehatan di tengah pandemik, tetapi begitu banyak yang terdampak karena masalah ekonomi.

Pandemik membuat membuat keluarga mereka mengalami ketidaksetaraan yang tidak dihadapi negara-negara kaya. Para orangtua yang kebingungan harus memberi makan apa pada mereka, akhirnya tidak mempunyai pilihan; Menyuruh mereka bekerja jadi buruh kasar atau menikah!  

Sekitar 64 persen penduduk yang berusia di bawah usia 25 hidup di bawah garis kemiskinan, menurut angka PBB. Di awal pendemik, mungkin mereka terlihat bisa mengatasi masalah ekonomi, tetapi lama kelamaan mereka kehabisan tabungan sementara penghasilan harian sudah tidak ada lagi.

Halime telah mengalami hal itu. Saat ini usianya 12 tahun, tetapi orangtuanya memutuskan untuk segera menikahkannya sebagai cara untuk bertahan secara finansial. Halime diminta pindah dari rumah orangtuanya setelah menikah. Itu berarti telah berkurang beban orangtua untuk menafkahi anaknya.

Halime tidak paham arti menikah yang sebenarnya kecuali; "Aku akan membuat teh dan memasak untuk suamiku," katanya malu-malu dari rumah kecilnya di sebuah kamp untuk orang-orang terlantar di provinsi Herat.

Orang tuanya telah tinggal di sini selama tiga tahun terakhir, awalnya melarikan diri dari konflik di provinsi tetangga Ghor, nyaris tidak bertahan hidup dengan upah buruh harian.

"Pekerjaan sekarang telah mengering," ujar ayahnya, Juma Gul, 47 tahun, seolah menyalahkan pandemik.

"Bukannya aku ingin menikahkannya, tapi pilihan apa yang aku miliki?" keluh Juma.

Halime tidak sendiri. Di seluruh Afghanistan, anak-anak telah menderita konsekuensi berat seiring datangnya pandemik Covid-19.

Abdul, seorang anak berusia sembilan tahun yang bersekolah di Kabul sebelum negara itu dikunci, mengatakan dia sekarang menghabiskan sebagian besar waktunya di pasar, mencoba menjual 'bolani', sejenis roti isi sayur yang umum di Afghanistan.

“Di hari pertama jualan, saya diteriaki ‘Pergi, Nak!’ Kadang-kadang saya dipukul karena dianggap mengganggu,” kata Abdul.

Ia bukan mengeluhkan pekerjaannya, tetapi dia ketakutan akan pelecehan yang diterimanya.

Sebelum penyebaran virus corona, sekitar seperempat anak-anak Afghanistan antara usia lima dan 14 sudah bekerja, dengan setengah dari mereka tidak bersekolah. Angka-angka ini sekarang telah memuncak.

Direktur pendidikan di Action for Development Sonia Nezami mengatakan pandemik telah merampas dunia pendidikan anak-anak.

“Ada banyak bahaya di jalanan dan sejak pandemik, anak-anak menghadapi masa yang semakin sulit karena banyak keluarga mengirim anak-anak mereka untuk mencari uang,” Sonia, dikutip dari TN, Selasa (7/7).

Afghanistan telah melaporkan 30.000 infeksi Covid-19, tetapi dengan beberapa pusat pengujian dan tumpukan sampel evaluasi, jumlah resminya kemungkinan jauh lebih besar.

Di bagian lain Afghanistan, di puncak gunung Badakhshan, Nasima, usia 10 tahun, sedang berjuang menghadapi kenyataan pandemik lainnya,  sekolahnya telah ditutup selama berbulan-bulan.

Sekolah-sekolah Afghanistan berada dalam krisis sebelum pandemik. Jumlah anak yang belajar menurun saat pandemik semakin parah dan pendanaan dari donator berakhir.

Heather Barr, co-direktur Human Rights Watch untuk Divisi Hak-Hak Perempuan, mengatakan banyak orangtua yang kemudia memilih menikahkan anaknya.

“Tiga puluh lima persen gadis Afganistan menikah dini gara-gara putus sekolah. Anak perempuan Afghanistan yang putus sekolah, tiga kali lebih mungkin menikah sebelum 18 tahun dibandingkan dengan anak perempuan yang menyelesaikan pendidikan menengah,” tulisnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA