Ketegangan politik di Mali terjadi ketika kelompok-kelompok kecil pengunjuk rasa melakukan aksi dengan mendirikan barikade dari ban dan potongan kayu untuk memblokir lalu lintas di beberapa distrik di Bamako pada Jumat (10/7).
Meski jumlahnya tidak sampai seribu, pengunjuk rasa berhasil menduduki gedung-gedung pemerintahan. Alhasil petugas keamanan mengerahkan gas air mata untuk mendesak mundur para pengunjuk rasa.
Bentrokan antara petugas keamanan dan pengunjuk rasa pun terjadi hingga tiga orang pengunjuk rasa dinyatakan meninggal dan beberapa lainnya terluka parah.
Aksi para pengunjuk rasa tersebut sebagai protes karena koalisi menolak tawaran dari Presiden Ibrahim Boubacar Keita untuk menyelesaikan konflik politik yang dipicu sengketa pemilu legislatif pada Maret.
Melansir
Reuters, koalisi oposisi M5-RFP mengatakan dua tokoh senior dalam gerakan tersebut, Choguel Kokala Maiga dan Mountaga Tall, ditahan bersama dengan aktivis lainnya pada Sabtu (11/7). Sementara pemimpin protes lainnya, Issa Kaou Djim, ditangkap sehari sebelumnya.
Jurubicara M5-RFP, Nouhoum Togo mengatakan, pasukan keamanan datang dan menggeledah markas koalisi oposisi.
Penangkapan para pemimpin oposisi pada Sabtu menjadi titik memburuknya hubungan antara oposisi dan pemerintah setelah dua bulan protes damai.
"Semua batas yang dapat ditoleransi sudah terlampaui," ujar Keita dalam pidato di televisi pemerintah merujuk pada protes.
Atas pertumpahan darah dalam aksi unjuk rasa yang terjadi pada Jumat, M5-RFP mendesak pendukungnya untuk melakukan aksi dengan tuntutan penggulingan Keita.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: