Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Prancis Punya Catatan Kekejaman Dalam Sejarah Aljazair, Permohonan Maafnya Ditunggu Bukan Sekadar Pemulangan Tengkorak Pejuang

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Senin, 13 Juli 2020, 11:01 WIB
Prancis Punya Catatan Kekejaman Dalam Sejarah Aljazair, Permohonan Maafnya Ditunggu Bukan Sekadar Pemulangan Tengkorak Pejuang
Musium Manusia, yang akan menempatkan tengkorak-tengkorak pejuang yang dikembalikan Prancis/Net
rmol news logo Hal yang membingungkan ketika suatu kelompok yang terkenal dengan aksi kekejamannya di masa perang, kemudian saat ini menghujat kekerasan yang dilakukan kelompok lain. Namun itulah yang terjadi, Prancis, berkali-kali,  mengecam negara lain, sekutu NATO, dan menggambarkan bahwa tindakan itu sebagai 'penjahat'.

Pemenggalan kepala, kekerasan seksual, penyiksaan dan sekularisme militan Prancis di masa kolonial, Istana Elysee seolah tidak pernah mengingat bahwa bangsa mereka juga pelaku kekerasan itu.

Prancis seolah memiliki kebebasan mutlak untuk benar-benar memenggal kepala orang Afrika dan menyimpan tengkorak mereka di museum dan kemudian memberi ceramah kepada seluruh dunia tentang apa yang bisa dan bukan kriminal.

Dalam artikelnya, Tallha Abdulrazaq, penulis dan akademisi urusan strategis dan keamanan Timur Tengah, menyoroti kembalinya 24 tengkorak pejuang kemerdekaan Aljazair pada 5 Juli pekan lalu. Pejuang-pejuang itu terbunuh oleh Perancis dalam perang kolonialisme Prancis selama 132 tahun.

Aljazair mengadakan upacara saat menerima tengkorak para pejuang itu dan meletakkan jenazah mereka untuk beristirahat dalam upacara suram pada peringatan 58 tahun kemerdekaan Aljazair. Mereka harus membayar dengan harga tertinggi untuk kebebasan dan penentuan nasib sendiri dari kolonialisme Eropa yang kejam.

Namun, menurut Abdulrazaq, pemulangan tengkorak-tengkorak ini justru merupakan penghinaan bagi Aljazair dan menjadi tragedi utama, dibandingkan sikap penyesalan otoritas Prancis. Prancis bahkan hingga hari ini adalah kunci dari koleksi suram 18.000 tengkorak dari wilayah di seluruh dunia yang pernah Prancis duduki.

Aljazair menderita di bawah kolonialisme Prancis selama 132 tahun, tepatnya sejak  1830 hingga 1962. Sebanyak 1,5 juta orang Aljazair meninggal karena kematian terkait perang. Itu belum termasuk pembunuhan dan kebobrokan yang diderita oleh orang-orang Aljazair di tangan pendudukan Prancis selama 124 tahun sebelumnya, menurut artikel yang tayang di TRT itu.

Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Prancis Le Monde pada tahun 2000, Perwira militer Prancis, Bigeard, menggambarkan penyiksaan sebagai "kejahatan yang perlu" tetapi ia membantah terlibat aktif dalam penyiksaan itu sendiri. Apakah dia terlibat langsung dalam penggunaan pemerkosaan, mengubur orang-orang tua hidup-hidup, atau menuangkan semen ke kaki korban sebelum mereka dilemparkan ke laut, jenderal-jenderal di Perancis tentu bertanggung jawab seperti rekan-rekannya dan atasan di pemerintahan Perancis.

Menjadi ironi bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas kekejaman ini hidup melalui pendudukan Nazi di Prancis dan sepenuhnya sadar akan kebijakan genosida negara fasis itu.

Di antara para jenderal dan pejabat ini adalah anggota perlawanan Prancis terhadap Jerman Nazi namun tidak memiliki masalah sama sekali yang menimbulkan kebijakan serupa pada orang Arab dan Berber, belum lagi kejahatan Prancis di Indo-Cina dan di tempat lain di seluruh dunia.

Terlepas dari semua ini, dan pengakuan dari Presiden Emmanuel Macron bahwa penyiksaan secara sistematis digunakan di Aljazair, belum ada ungkapan permintaan maaf yang nyata dari negara Macron. Padahal semestinya, Prancis harus melakukan itu.

Dengan semua siksaan, kekerasan seksual, perampasan tanah, dakwah sekuler militan, dan pemenggalan kepala, kita tidak akan salah dalam menggambarkan Prancis sebagai versi era kolonial Daesh yang benar-benar berhasil membentuk sebuah kerajaan, tidak seperti para teroris saat ini, tulis Abdulrazaq.

"Sementara saya enggan menggunakan kekerasan ntuk membahas peristiwa yang terjadi di masa lalu karena takut jatuh ke dalam jebakan anakronisme. Apa yang terjadi di Aljazair masih ada dalam ingatan, dan sikap intervensionis Prancis di Afrika Utara saat ini sangat terinspirasi oleh sejarah kolonial mereka, bahwa mereka belum menebus dan meminta maaf," tegas Abdulrazaq.  

Para korban kebiadaban Prancis layak mendapatkan yang lebih baik.

Pada Desember 2019, Macron mengatakan “kolonialisme adalah kesalahan besar” dan menginginkan untuk membalik halaman dari masa lalu. Selama kampanye pemilihan presiden pun, ia telah menciptakan badai dengan kolonialisme Perancis di Aljazair adalah sebuah “kejahatan atas kemanusiaan”.

Pejabat United Nations human rights Michelle BAchelet memaksa berbagai negara untuk memperbaiki “abad-abad kekerasan dan diskriminasi”.

Namun, kapankah Prancis menyampaikan permohonan maaf resminya, padahal tengkorak-tengkorak para pahlawan yang telah dipulangkannya itu adalah bukti sejarah kekejamannya? rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA