Pada 4 Mei, perempuan 27 tahun tersebut mengunggah sebuah pos satire yang berjudul "the Corona Surah" atau "Surah Corona". Ia berusaha menghubungkan kitab suci umat Islam dengan penyakit yang disebabkan oleh virus corona.
"Tidak ada perbedaan antara raja dan budak, ikuti ilmu pengetahuan dan abaikan tradisi," demikian sepenggal unggahan Charki.
Melansir
AFP, pada Selasa (14/7), pengadilan Tunisia akhirnya menyatakan Charki bersalah karena menyinggung agama dan ujaran kebencian.
Saat ini, Charki masih memiliki waktu 10 hari untuk naik banding. Ia juga didenda sebesar 2.000 dinar atau setara dengan Rp 10 miliar.
Dengan kaus Che Guevara berwarna merah, Chaki mengatakan kepada wartawan bahwa ia akan mengajukan banding karena hukumannya yang tidak logis.
"Di negara bebas, di mana konstitusi menjamin kebebasan berekspresi dan hak-hak perempuan, mereka mengutuk saya, seorang wanita bebas dalam keyakinan saya," ujarnya marah.
Karena kasus yang membelitnya, Charki dan ibunya harus meninggalkan apartemen tempat tinggal mereka karena sang pemilik tampak ikut tersinggung dengannya.
"Masa depan putriku hancur. Dia tidak akan lagi bisa bekerja atau berjalan di jalan dengan bebas," ujar ibu Charki, seorang muslimah berjilbab biru.
Di sisi lain, mantan anggota parlemen, Bochra Belhaj Hmida, ikut mendukung Charki. Menurutnya, Tunisia sudah seharusnya menghargai kebebasan individu setelah 10 tahun revolusi.
"Setelah semua yang telah dilakukan pemuda Tunisia untuk negara ini, haus akan kebebasan yang telah mereka tunjukkan, sulit dipercaya bahwa keputusan masih bisa diambil berdasarkan undang-undang anti-kebebasan yang sudah usang," katanya kepada
AFP.
Kelompok hak asasi manusia, Amnesty Internasional, juga mengecam persidangan Charki. Namun kelompok tersebut justru memperkeruh keadaan dengan menyebut unggahan Charki sekadar teks lucu dengan meniru ayat Al Quran untuk mengolok-olok situasi pandemik Covid-19.
"Tidak ada hasutan untuk kebencian atau kekerasan. Unggahan tersebut dimaksudkan untuk menjadi lucu, bahkan termasuk anjuran untuk tetap di rumah dan mencuci tangan," ujar mereka.
Tunisia sendri dipandang sebagai negara yang sukses dalam peristiwa Arab Spring pada 2011. Negara tersebut berubah menjadi demokrasi yang jarang ditemui di negara-negara Arab Spring lainnya yang saat ini terjerembab ke dalam konflik berkepanjangan.
Hingga saat ini, Tunisia sudah mencatatkan lebih dari 1.300 kasus Covid-19 dengan 50 kematian.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: