Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sekolah Tutup Dan Tidak Bisa Ikuti PJJ Karena Tidak Ada Listrik Dan Internet, Bagaimana Masa Depan Anak-anak Afrika?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Senin, 20 Juli 2020, 18:18 WIB
Sekolah Tutup Dan Tidak Bisa Ikuti PJJ Karena Tidak Ada Listrik Dan Internet, Bagaimana Masa Depan Anak-anak Afrika?
Siswa-siswa di Afrika mendapat jatah makanan saat berada di sekolah/Net
rmol news logo Pembelajaran jarak jauh yang diterapkan untuk siswa-siswa di Afrika selama masa pandemik, mengalami kendala. Akibatnya, hamoir semua siswa mengalami ketertinggalan, bahkan kemungkinan tidak bisa mengikuti pendidikan lagi.  

Ini bukan saja karena mereka tidak memiliki akses internet dan listrik, tetapi juga kebanyakan anak-anak itu harus membantu orangtuanya mencari nafkah yang semakin sulit, bahkan untuk anak perempuan disegerakan menikah dini.

Seorang relawan pendidikan sekaligus ahli literasi di Uganda mengatakan, yang paling darurat di Afrika saat ini adalah masalah pendidikan, di mana sebagian besar anak-anak tidak kembali ke bangku sekolah.

“Saya pikir pendidikan sekarang lebih bersifat darurat daripada masalah kesehatan,” ujar Mary Goretti Nakabugo yang juga pemilik organisasi nirlaba Uwezo, dikutip dari Al Arabiya, Senin (20/7).

Anak-anak di Afrika benar-benar tidak berdaya. Meski pandemik Covid-19 telah mengganggu pendidikan di seluruh dunia, krisis pendidikan terjadi lebih parah di benua tersebut, di mana hingga 80 persen pelajar tidak memiliki akses internet dan listrik, membuat pembelajaran jauh menjadi sulit. Lalu kondisi ekonomi membuat orangtua mereka memilih untuk mempekerjakan anak-anaknya di pabrik atau menjadi buruh harian.

Badan pendidikan dan kebudayaan PBB mencatat wilayah sub-sahara Afrika telah memiliki tingkat tertinggi anak yang tidak bersekolah di mana pun di dunia. Dengan hampir seperlima anak-anak berusia antara 6 dan 11 tahun dan lebih dari sepertiga anak usia antara 12 dan 14 yang tidak hadir.

Di Kenya, sekolah dasar dan menengah tetap ditutup, sementara perguruan tinggi dan lembaga pendidikan tinggi lainnya dibuka kembali pada September mendatang. Itu berarti murid-murid Kenya akan mengulang tahun akademik, sebuah fenomena yang biasa disebut sebagai dead year atau tahun mati.

Tahun mati memberi efek lebih luas dari sekedar gangguan akademik.

“Konsekuensi kritisnya mungkin terkait dengan kesehatan, air, dan gizi karena sekolah adalah lokasi yang baik buat mereka atau oase stabilitas,” tulis laporan dari Chr. Michelsen Institute di Norwegia.

Lembaga penelitian pembangunan mencatat bahwa penutupan sekolah adalah berarti tidak adanya makanan dan program kesehatan, karena sekolah di Afrika menyediakan itu semua. Dan, termasuk juga air bersih dan sanitasi.

Tidak hanya itu, sekolah juga menyediakan tempat berlindung bagi anak-anak dari pekerjaan dan eksploitasi.

Penutupan sekolah yang terlalu lama dan PJJ cukup menyulitkan bagi mereka karena harus berjalan jauh untuk sekedar mengisi daya batere hape atau mencari sinyal internet.

Banyak guru yang juga berhenti, memperburuk kekurangan guru terburuk di dunia.

"Potensi teknologi digital sangat besar. Tetapi, di banyak tempat orang terpaksa melakukan perjalanan jarak jauh hanya untuk mengecas hape mereka,” kata Djibril Tall, seorang guru di wilayah Louga, Senegal.

Bagi banyak orang di Afrika, kembali ke sekolah mungkin sangat sulit. Di Zimbabwe, di mana di banyak sekolah hingga 70 siswa dapat memadati sebuah ruangan kecil, pemerintah menunda pembukaan kembali bertahap yang dijadwalkan akan dimulai bulan ini.

Serikat guru telah memperingatkan bahwa rencana semacam itu berbahaya di sekolah yang tidak memiliki masker wajah, pembersih tangan, dan air bersih. Bahkan, di Afrika Selatan, ekonomi paling makmur di benua itu, pemerintah telah menghadapi kritik atas keputusan untuk membuka kembali sekolah, meskipun jumlah kasus Covid-19 semakin banyak.

Sejak sekolah dibuka kembali pada Juni, setidaknya 650 siswa dan guru dinyatakan positif Covid-19 di provinsi Gauteng, pusat ekonomi negara itu dan memaksa 71 sekolah harus ditutup lagi.

Banyak sekolah swasta di seluruh Afrika menawarkan bimbingan pelajaran secara daring. Tetapi di daerah miskin dan pedesaan, anak-anak lebih cenderung menghabiskan hari-hari mereka bermain-main atau mengurus rumah, daripada membuang ratusan dolar.

“Saya bahkan tidak mampu membeli roti. Di mana saya akan mendapatkan uang untuk les privat ini? ” kata Maud Chirwa, seorang ibu di pinggiran Kuwadzana di Ibu Kota Harare, Zimbabwe yang sedih karena tidak bisa menyekolahkan anaknya lagi. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA