Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kosovo Dan Orang Asia: Bukan Rasis, Anda Hanya Perlu Menghabiskan Waktu Dengan Orang Asing Agar Tidak Ada Prasangka

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Selasa, 21 Juli 2020, 06:24 WIB
Kosovo Dan Orang Asia: Bukan Rasis, Anda Hanya Perlu Menghabiskan Waktu Dengan Orang Asing Agar Tidak Ada Prasangka
Pejalan kaki berjalan selama minggu pertama pembukaan kembali alun-alun utama di Pristina, Kosovo, 2020/Net
rmol news logo Haes-Shal Kim (28 tahun) menghabiskan waktu sebagai anak muda di kota pelabuhan Durres Albania dan telah hidup selama tiga tahun terakhir di Kosovo, di mana etnis Albania adalah mayoritas, dan ia adalah yang tersisih.

Jadi dia bisa mengerti dengan baik apa yang dikatakan tentang dia di toko roti lokalnya di ibukota, Pristina, pada hari di awal April. Namun, reaksi pemilik toko itulah yang paling menyakitkan.

"Salah satu pelanggan mulai mengeluh kepada penjaga toko tentang keberadaan saya di toko," kata Kim, yang bekerja sebagai guru, saat diwawancarai kantor berita BIRN. “Aku sudah mengenal penjaga toko itu selama bertahun-tahun, tetapi aku terkejut dia tidak berani mengatakan bahwa aku adalah tetangganya. Dia hanya mengangkat bahu. "

Episode itu hanya salah satu dari sejumlah pertemuan menyakitkan yang dialami orang-orang keturunan Asia sejak Covid-19 tiba di Kosovo dengan kasus pertama yang dikonfirmasi dari virus corona pada pertengahan Maret.

Karena asal-usulnya dari China, Covid-19 telah memicu peningkatan kecurigaan terhadap orang-orang keturunan Asia di seluruh dunia.

Orang-orang Asia, utamanya China, pernah diludahi, ditusuk saat berbelanja, dijauhi karena memakai masker, dan dilarang memasuki kendaraan umum, menurut laporan Washington Post.

Jumlah insiden telah mencapai ribuan di seluruh dunia, termasuk di Kosovo. Termasuk bagaimana orang-orang memberikan label atau penyebutan.

Orang-orang Asia telah mengalami tekanan sejak pertama kali mereka menjejakkan kaki di negara itu. Bahkan sebelum pandemik, tidaklah mudah bagi orang-orang keturunan Asia tinggal di Kosovo, tulis Washington Post.

"Ketika saya pertama kali mengunjungi Kosovo tiga tahun lalu, situasinya benar-benar buruk," kata Jeong-Woo, isteri Kim, yang sudah sangat sabar menghadapi berbagai sikap diskriminasi terhadap dirinya dan keluarganya dari orang-orang Kosovo.

Perlakuan itu menjadi lebih buruk ketika Kosovo mengkonfirmasi kasus Covid-19 pertamanya.

Ketika ia dan suaminya sedang makan di luar, beberapa pengunjung sengaja menggunjingkan mereka dengan suara yang nyaring.

“Kami secara sadar duduk di sudut untuk menjaga jarak dengan orang-orang. Tetapi orang-orang di restoran mulai mengeluh kepada pelayan tentang kehadiran kami yang membuat mereka takut,” kata Jeong-Woo.

"Padahal, saat itu mereka tidak mengenakan masker dan berbicara satu sama lain dengan suara nyaring dengan wajah mereka begitu dekat satu sama lain," katanya.

Chester Eng, seorang Amerika keturunan China, juga menemukan bahwa ia harus menyesuaikan diri dengan prasangka yang meluas terhadap budaya dan ras lain ketika ia mulai bekerja empat tahun lalu di kota Podujeva / Podujevo, utara ibukota.

"Saya capek tiap hari dicurgai," kata Eng, seorang guru, pekerja LSM dan mantan sukarelawan Peace Corps, kepada BIRN.

"Saya tidak bisa mengatakan saya selalu merespons dengan anggun. Tetapi dengan pengalaman dan waktu, saya mencoba belajar mengabaikan ingatan saya soal tampilan 'Asia' saya, yang membuat mereka selalu mengolok-ngolok dan menghina saya di mana-mana."

Saat ini, situasi di Kosovo telah memburuk dengan timbulnya Covid-19. Pelecehan terhadap warga keturunan Asia lebih sering terjadi.

"Aku mendengar lebih banyak nama-panggilan setelah pandemik," ujar seorang warga keturunan China,  "Ada yang memanggilku dengan sebutan 'Hai virus!' atau 'Lihat, ada virus corona!' dan banyak lagi. Dan semua orang menghindari aku."

Selama bertahun-tahun, etnik Albania yang jumlahnya 90 persen di Kosovo,  mengalami diskriminasi dan pelecehan di tangan Serbia, berpuncak dalam perang gerilya. Selama itu pula Kosovo mengalami tekanan dan terkucil dari dunia luar.

Taulant Xhelili, seorang peneliti hukum di Pusat Eropa untuk Masalah Minoritas, ECMI, di Kosovo, membandingkan diskriminasi terhadap orang-orang keturunan Asia dengan diskriminasi yang dialami pribumi Kosovo sejak penjajahan dilakukan oleh minoritas Serbia, Bosniaks, Roma, Ashkali, Mesir, Kroasia, dan Gorani.

Dan mengingat kurangnya kesempatan bagi Kosovo untuk melihat dunia luar dan bepergian dengan bebas, menjadikan Kosovo belum pernah bersentuhan dengan warga asing, termasuk budayanya.

"Warga Kosovo belum terpapar dengan berbagai budaya dan orang," kata Xhelili. "Ini termasuk orang Asia."

Kotato Takeda, yang bekerja dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kosovo dan mengajar seni bela diri dan olahraga tempur di waktu luangnya, setuju dengan paparan terbatas Kosovo pada budaya lain. Tetapi ia mengatakan pada umumnya orang Kosovo sangat terbuka untuk memahami.

"Terutama dalam konteks Asia Timur / Jepang, hanya ada empat warga Jepang yang tinggal di Kosovo saat ini," kata Takeda dalam balasan tertulis kepada BIRN. "Jadi orang-orang Kosovo secara harfiah tidak memiliki kesempatan untuk bertemu, bersaksi, dan berinteraksi dengan orang-orang Asia."

“Saya telah bertemu banyak penduduk setempat yang sama sekali belum tersentuh atau mengenal budaya Asia sama sekali. Namun, Kosovo sangat penasaran dan terbuka untuk memahami budaya baru. Jadi ketidaktahuannya bukan karena kefanatikan atau kesombongan mementingkan diri sendiri, tetapi lebih merupakan masalah pendidikan dan kurangnya sentuhan ilmu pengetahuan," dia menambahkan.

Kim mengatakan Kosovo harus lebih pro-aktif.

"Orang Kosovo yang sudah memiliki kesadaran tentang masalah ini harus benar-benar mencoba untuk membicarakan hal ini dengan orang yang mereka kenal, teman dan keluarga mereka," katanya.

“Ketika saya membagikan kisah saya tentang dilecehkan secara verbal di jalan kepada teman-teman Kosovar saya, mereka sangat marah. Saya berterima kasih kepada mereka untuk ini, tetapi mereka cenderung berpikir bahwa hanya sedikit orang yang tidak berpendidikan yang akan melakukan hal seperti itu. Tapi itu tidak benar. Itu proporsi orang yang lebih besar dari yang Anda kira."

"Saya tahu bahwa orang Albania adalah orang yang sangat baik," kata Haes Shal kepada BIRN. “Begitu mereka mengenal saya, mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Dan saya tahu ini dengan tinggal bersama orang Albania selama lebih dari 10 tahun. Jadi masalah sebenarnya berasal dari ketidaktahuan, bukan dari pola pikir rasis menurut saya."

"Terkadang kamu hanya perlu menghabiskan waktu dengan orang asing agar tidak memiliki prasangka macam-macam," sarannya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA