Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pemilu 2020 Dan Masa Depan Umat Muslim Myanmar

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Rabu, 22 Juli 2020, 06:31 WIB
Pemilu 2020 Dan Masa Depan Umat Muslim Myanmar
Warga sedang melihat hasil Pemilu Myanmar/Net
rmol news logo Sejumlah partai politik di Myanmar bersiap untuk pemilihan umum yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada 8 November 2020 dan menjadi pemilu pertama yang diadakan di bawah pemerintahan sipil selama lebih dari enam dekade.

Komisi Pemilihan Umum Myanmar mengumumkan tanggal pemilihan pada 1 Juli lalu, dan membuka pendaftaran kandidat dari 96 partai politik terdaftar dari 20 Juli hingga 7 Agustus mendatang. Beberapa hari setelah pengumuman KPU Myanmar, sebuah tim beranggotakan 16 orang dibentuk untuk membantu para kandidat Muslim berkampanye di daerah pemilihan mereka di seluruh negeri. Tim ini terutama terdiri dari para ahli hukum Muslim.

Juru bicara tim Maung Muang Myint mengatakan bahwa kelompok itu akan membantu kandidat Muslim secara finansial, legal dan teknis.

“Sangat disayangkan bahwa parlemen kami tidak memiliki anggota parlemen Muslim meskipun Muslim membentuk lebih dari 5 persen dari populasi negara itu,” katanya melalui telepon, seperti dikutip dari AA, Selasa (21/7).

“Dari lebih dari 6.000 kandidat dalam pemilu 2015, hanya 28 yang beragama Islam. Dan mereka tidak memenangkan kursi,” katanya, seraya menambahkan bahwa komisi tersebut telah menolak lebih dari seratus calon yang kebanyakan Muslim, dengan alasan kewarganegaraan. Undang-undang pemilihan menyatakan bahwa orang tua calon harus sudah diakui sebagai warga negara pada saat kelahiran calon.

“Jadi tahun ini, kami bekerja sama untuk membantu mereka dalam seluruh proses mulai dari pendaftaran calon,” kata Myint.

Dua partai politik terbesar di negara itu, yakni partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang mendukung  Aung San Suu Kyi dan Partai Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung militer, tidak mengajukan calon Muslim untuk pemilihan umum terakhir.

Partai-partai belum menyerahkan daftar kandidat ke komisi pemilihan untuk pendaftaran. Myint mengatakan umat Islam hanya memiliki sedikit peluang untuk dipilih sebagai kandidat partai politik di negara mayoritas Buddha itu.

“Kami tidak mendengar apa-apa tentang partai memilih Muslim sebagai kandidat mereka. Sejauh ini, kami hanya dihubungi oleh sekitar 20 kandidat Muslim independen dari Yangon, Mandalay, dan Rakhine,” ungkapnya.

Aung Shin, juru bicara partai NLD, mengakui partai itu mengecualikan Muslim sebagai kandidat untuk menghindari kritik dari kelompok-kelompok nasionalis Budha sementara ketegangan agama memuncak menjelang pemilihan umum 2015.

“Itu terjadi (pada 2015), tetapi itu tidak akan terjadi saat ini," katanya kepada AA melalui telepon pekan lalu, menegaskan bahwa partai akan memilih kandidat tanpa memandang ras dan agama.

“Kami tidak memiliki kebijakan untuk tidak memilih kandidat Muslim, tetapi itu tergantung pada keinginan masing-masing komunitas lokal,” kata Shin.

Komunitas lokal masing-masing telah membuat daftar kandidat yang akan datang, dan Ketua Komite Eksekutif partai kemudian akan memilih orang yang cocok dari daftar mereka.

“Dengan cara ini, pemilihan kandidat akan mencerminkan keinginan komunitas tuan rumah,” ungkapnya.

Seorang warga Myanmar bernama Min Htwe, seperti banyak Muslim lainnya di kota Mingalar Taungnyunt di Yangon, dirinya tidak percaya partai-partai politik yang kuat akan memasukkan jumlah kandidat Muslim yang tepat dalam pemilihan mendatang.

“Saya tidak berpikir NLD dan pihak lain akan mengambil risiko kehilangan suara dengan memilih banyak kandidat Muslim karena mayoritas penduduknya beragama Buddha. Tetapi partai-partai akan menyertakan beberapa kandidat Muslim untuk mengklaim bahwa mereka tidak memiliki kebijakan diskriminatif,” katanya.

Komunitas Muslim prihatin bahwa tidak hanya akan ada sedikit kandidat Muslim yang mencalonkan diri dalam pemilihan mendatang, tetapi juga sebagian besar akan mewakili partai-partai yang kurang dikenal, dibiarkan dengan peluang tipis untuk memenangkan kursi.

“Kebanyakan orang hanya akan memilih partai besar, NLD, atau USDP. Jadi akan ada kemungkinan parlemen bebas-Muslim yang lain kecuali partai-partai ini memiliki kandidat Muslim,” katanya.

Menurut sensus yang dilakukan pada 2014, populasi Muslim secara resmi membentuk 4 persen dari sekitar 51 juta orang penduduk yang ada di negara itu. Muslim, menemukan diri mereka sendiri menjadi target kebencian di negara itu dengan meningkatnya sentimen anti-Muslim akibat  munculnya nasionalisme di antara mayoritas umat Buddha Myanmar.

Penganiayaan terhadap Muslim adalah yang paling umum di negara bagian Rakhine barat, di mana Badan Pengungsi PBB mengatakan lebih dari 723 ribu etnis Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari penumpasan militer brutal yang terjadi sejak 2017.

Myanmar menyebut Rohingya sebagai Bengali, sebuah istilah yang menunjukkan bahwa mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh, yang tinggal di Rakhine selama beberapa dekade. Namun, Rohingya menolak klaim tersebut, dengan menyatakan bahwa mereka telah tinggal di wilayah itu selama berabad-abad. Rakhine menampung lebih dari 1 juta Rohingya, yang merupakan pemegang kartu identitas sementara (kartu putih) dan memiliki hak untuk memilih pada 2010, sebuah pemilihan penting dalam mengubah negara dari kediktatoran militer menjadi demokrasi.

Pemerintah sebelumnya yang dipimpin oleh Presiden reformis Thein Sein, seorang pemimpin senior junta militer yang memerintah negara itu selama hampir enam dekade hingga 2010, mencabut kartu putih menjelang pemilu 2015, dan membuat mereka tidak memenuhi syarat untuk memilih.

Politisi Rohingya Kyaw Min, yang juga ketua Partai Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, termasuk di antara kandidat Muslim yang dilarang oleh komisi pemilihan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan 2015.

“Saya memenangkan kursi pada 1990,” ungkap Min, merujuk pada pemilihan umum di mana NLD saat itu mendapat kemenangan besar, tetapi hasilnya diabaikan oleh junta militer.

Min mengatakan, umat Islam memiliki hak suara dalam pemilihan sejak kemerdekaan dan melalui pemilihan umum 2010 di negara itu.

“Setidaknya ada anggota parlemen Muslim di setiap parlemen sepanjang sejarah Myanmar. Kami, umat Islam, bagaimanapun, kehilangan hak kami untuk mewakili komunitas kami sejak pemilihan 2015,” katanya.

Partainya baru-baru ini mengirim surat ke komisi pemilihan, menuntut pemulihan hak pilih untuk orang-orang Rohingya di Rakhine.

“Dengan kelompok minoritas yang kehilangan haknya, bagaimana pemilihan bisa benar-benar bebas dan adil?” tanyanya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA