Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Di Tengah Kemarahan AS, Turki Tetap Lanjutkan Agenda Dengan Wajah Berseri

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Sabtu, 25 Juli 2020, 15:29 WIB
Di Tengah Kemarahan AS, Turki Tetap Lanjutkan Agenda Dengan Wajah Berseri
Rudal S-400 Turki yang dibeli dari Rusia/Net
rmol news logo   Amerika Serikat (AS) dibuat kesal oleh Turki. Beberapa keputusan yang dikeluarkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan seolah memancing kemarahan AS. Termasuk keputusan pembelian rudal buatan Rusia S-400 dan ikut mengambil bagian dalam operasi militer di wilayah Suriah, Irak, dan Libya.

Transaksi pembelian rudal Rusia membuat AS frustrasi sehingga pandangan AS atas pemerintahan Erdogan berubah drastis. AS pun mengeluarkan sanksinya dengan mengeluarkan Turki dari program kepemilikan jet tempur canggih F-35 pada Senin pekan lalu.  Pilot Turki juga diminta segera pulang dari pelatihan di Amerika.

Departemen Pertahanan AS kemudian memutuskan membeli delapan pesawat F-35A Lightning II yang seharusnya menjadi jatah Turki.

Ternyata, Turki tidak bergeming atas sanksi itu dan malah maju terus dengan agendanya sendiri sambil balik memberi ancaman sanksi kepada AS.

Merasa sanksinya diabaikan oleh Turki, AS kemudian menjatuhkan sanksi lagi kepada Turki pada Oktober lalu atas operasi militernya pada kelompok Kurdi di Suriah Utara. Tidak hanya itu, Trump lanjut memberi sanksi kebijakan tarif, dan sanksi kepada pejabat kementerian luar negeri, kementerian pertahanan dan menteri dalam negeri Turki, dikutip dari Al Arabiya, Jumat (24/7)

Apakah Turki kapok? Tidak. Turki tetap berjalan dengan isi kepalanya sendiri. Saat ini Turki malah ikut mengambil bagian dalam operasi militer di wilayah Suriah, Irak, dan Libya.

AS menyoroti bahwa bergabungnya Turki dalam operasi militer itu  akan mengganggu kestabilan hubungannya dengan Uni Eropa, termasuk upaya eksplorasi di perairan Yunani dan Siprus untuk memanfaatkan cadangan gas alam.

Di Irak, Turki dicurigai bersama Iran tengah melakukan operasi menumpas pasukan Kurdi di mana populasi Kurdi dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan bangsa-bangsa lainnya oleh Ankara dan Teheran. Protes dari Arab Saudi dan para pejabat AS pun berhamburan.

Berdasarkan Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act ( CAATSA) 2017, AS diketahui dapat menjatuhkan sanksi kepada siapa pun yang melakukan transaksi militer "signifikan" dengan musuh AS, termasuk Rusia.

Atas pembelian rudal S-400 dari Rusia, sejumlah anggota Kongres Amerika minggu lalu tengah merancang adanya sanksi baru kepada Turki.

Adam Kinzinger, salah satu anggota kongres, menilai AS harus membuat Turki jera.

"Sudah waktunya bagi AS untuk membuatnya sangat jelas bahwa tindakan (Turki) tidak akan ditoleransi dan akan mendapat konsekuensi serius," kata Kinzinger.

RUU sanksi baru itu diajukan oleh Kinzinger bersama oleh seorang anggota kongres Demokrat dan Republik lainnya.  

"Undang-undang yang kita miliki memungkinkan hal itu dan memasukkan tindakan Turki sebagai pelanggaran yang dapat dikenai sanksi secara eksplisit," tambah Kinzinger.

Anggota kongres lainnya, Abigail Spangberger, menyebutkan bahwa tindakan Turki baru-baru ini tidak sesuai dengan kebijakan keamanan Amerika dan kepentingan sekutu NATO lainnya.

Bukan hanya AS yang memburu TUrki dengan sanksinya. Prancis pun ikutan.  Presiden Prancis Emmanuel Macron juga meminta Uni Eropa memberikan sanksi terhadap Ankara atas dugaan "pelanggaran" perairan Yunani dan Siprus. Ia juga menyarankan agar Uni Eropa mengambil tindakan atas krisis di Libya.

"Sanksi ini perlu diberikan agar gencatan senjata dapat dicapai dalam krisis Libya," ujar Macron, Kamis(23/7).

Bulan lalu, otoritas Turki menjatuhkan hukuman atas seorang karyawan konsulat AS dengan tuduhan telah membantu pengkhotbah Turki yang berbasis di AS, Fethullah Gulen.

Metin Topuz, seorang penerjemah dan asisten Badan Penegakan Narkoba AS, dijatuhi hukuman lebih dari delapan tahun penjara. Langkah itu dikecam oleh Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo karena disebutnya akan "merusak" hubungan bilateral.

Ada lagi 'ulah' Turki. Sejak Februari 2020 pemerintah Erdogan telah menahan lebih dari seribu orang karena dugaan hubungan dengan Gulen, yang dituduh mengatur upaya kudeta yang gagal pada 2016.  Sejak upaya kudeta itu, sekitar 80.000 orang telah ditahan dan sedang menunggu persidangan.  Sedangkan 150.000 pegawai negeri, personil militer dan lainnya telah dipecat atau ditangguhkan.

Gulen kemudian membantah dan balik menuduh Erdogan berada di balik skenario upaya kudeta untuk melanggengkan kekuasaannya.

Tanpa rasa takut Ankara mengajukan permintaan resmi kepada Amerika untuk mengekstradisi Gulen kembali ke tanah kelahirannya di Turki, bersama dengan para pembangkang lainnya yang melarikan diri ke AS.  AS jelas menolak mentah-mentah permintaan itu.

Belakangan, mengenai status Aya Sofya, Turki mendapat kritik tajam dari AS dan beberapa negara lain. Perubahan status Aya Sofya dipandang sebagai langkah politik Erdogan.  Anggota Kongres Steve Cohen mengatakan itu adala cara Erdogan "untuk memenuhi keinginan politik dalam negeri jangka pendek".

"Itu adalah sebuah kesalahan," kata Steve Cohen.
 
Turki, sebagaimana biasa, dengan tenang menyangkal semua tuduhan-tuduhan, juga soal Aya Sofya. Perubahan status Hagia Sophia adalah kedaulatan nasional dan menjadi hak penuh Turki.

"Amerika agar mengurus urusan dalam negerinya sendiri," begitu kira-kira yang disampaikan Turki dalam tanggapannya atas segala tuduhan AS. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA