“Di lingkungan yang miskin dan kaya, kaum muda memiliki kedudukan yang sangat politis. Kedudukan politis tidak terbatas untuk menjadi bagian dari cabang pemuda sebuah partai politik, keberatan atas kerusakan yang kita alami juga merupakan posisi politik,†ujar Evrim Kuran, dikutip dari
Hürriyet Daily News, Selasa (28/7).
"Tapi yang pasti mereka tidak menyukai partai atau pemimpin politik Turki," lanjut Kuran, yang juga adalah direktur perusahaan Timur Tengah dari perusahaan riset dan konsultasi branding Universum.
Sementara, menurut Direktur Eurasia Public Opinion Research Center Kemal Ozkiraz, sebagian besar Gen Z di Turki menyukai partai-partai oposisi. Afiliasi kaum muda ke partai ultranasionalis juga lebih tinggi dibanding ke mesin politik Erdogan, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
Evrim Kuran mengatakan, tingkat pemuda Turki yang berpartisipasi dalam organisasi masyarakat sipil adalah 8 persen. Yang lainnya memilih tidak ingin terlibat jauh dalam urusan negara, bahkan cenderung ingin meninggalkan negara itu untuk melanjutkan sekolah atau bekerja.
“Ketika diminta untuk mendefinisikan Turki dalam satu kata, maka "sulit" adalah kata yang paling banyak digunakan anak muda Turki. Mereka sangat mencintai negara mereka, tetapi pada saat yang sama mereka juga ingin pergi. Hal pertama yang mereka katakan adalah mereka ingin mengubah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang sedang berlangsung,†kata Kuran.
Dalam sebulan ini anak-anak muda Turki, yang memang kurang respek terhadap pemerintah, tengah menunjukkan kemarahannya. Kemarahan itu terkait dengan ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola urusan pendidikan di tengah pandemik serta beberapa kebijakan lainnya.
Pada akhir bulan lalu, Anak-anak muda di Turki serta para mahasiswa melontarkan kemarahannya kepada Presiden Recep Tayyip Erdogan. Kritik dan kemarahan itu diluapkan dalam kolom komentar pada tayangan live streaming YouTube di mana Erdogan menyapa calon mahasiswa yang akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi.
Para calon mahasiswa itu mengatakan mereka tidak akan memilih Erdogan lagi karena kecewa. Akibatnya, kolom komentar pun dikunci oleh pihak kepresidenan.
Tak cukup sampai di situ, protes mahasiwa berlanjut ke Twitter. Tagar #OyMoyYok menjadi ramai. “Tidak ada suara untuk Ada!†Tagar itu bahkan ramai hingga saat ini.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: