Salah satu masalah yang timbul sebagai imbas dari pandemi adalah munculnya serentetan kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri di pekerja migran di Singapura.
Hal ini memicu kekhawatiran atas masalah kesehatan mental di kalangan pekerja migran di negara tersebut. Bukan tanpa alasan, mengingat pandemi Covid-19 memaksa ribuan pekerja migran yang bergaji rendah atau bekerja di sektor informal untuk tidak bekerja. Hal itu menyebabkan banyak dari mereka tidak memiliki penghasilan selama pandemi.
Selain itu, mereka juga terpaksa harus melakukan akitivitas hanya di asrama mereka, mengingat ada kebijakan pembatasan pergerakan serta karantina yang dilakukan oleh pemerintah Singapura demi mengerem penularan virus corona.
Upaya Singapura untuk menekan penularan virus corona pun tidak main-main. Sepanjang bulan April lalu, Singapura menutup blok perumahan yang luas di mana mayoritas penghuninya adalah pekerja asal Asia Selatan yang tinggal di kamar tidur yang padat.
Tidak lama setelah itu, sejumlah asrama yang menampung pekerja migran juga dikarantina. Itu berarti, mereka tidak bisa leluasa bergerak ke luar asrama. Bahkan pekerja migran yang dinyatakan negatif virus corona pun dibatasi pergerakannya.
Kondisi semacam itu membuat resah sejumlah kelompok hak asasi manusia. Pasalnya, kondisi tersebut sangat berpotensi memicu masalah kesehatan mental di kalangan pekerja migran.
Keresahan tersebut cukup beralasan, terlebih belum lama ini muncul sejumlah video viral yang menunjukkan beberapa pekerja migran melakukan upaya bunuh diri. Ada video yang menujukkan pekerja migran berjalan terhuyung-huyung di atap rumah, ada juga video yang menunjukkan migran berada di ambang jendela yang tinggi.
Sementara itu, melansir
Reuters, kasus percobaan bunuh diri pekerja migran terbaru dilaporkan terjadi akhir pekan lalu.
Seorang migran berusia 36 tahun digambarkan berlumuran darah di bagian kaki di beberapa anak tangga di asramanya setelah melukai diri sendiri.
Menindaklanjuti situasi tersebut, Kementerian Tenaga Kerja Singapura mengatakan pada Rabu malam (5/8), bahwa pihaknya memantau serentetan kasus bunuh diri dan upaya bunuh diri baru-baru yang melibatkan pekerja migran di asrama.
Pihak kementerian menggandeng sejumlah mitra untuk meningkatkan program dukungan kesehatan mental bagi mereka.
Meski begitu, pihak kementerian membantah bahwa ada lonjakan kasus bunuh diri di antara para pekerja dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Mereka menekankan bahwa insiden semacam itu cenderung berasal dari masalah keluarga yang mungkin diperburuk oleh situasi sulit karena tidak dapat kembali ke rumah karena pembatasan Covid-19.
Sejauh ini, Singapura diketahui telah mencatat lebih dari 54 ribu kasus Covid-19. Banyak kasus ditemukan di asrama pekerja migran asal Bangladesh, India, dan China.
"Banyak pekerja sekarang mengatakan bahwa penderitaan mental adalah masalah yang lebih serius daripada virus," kata presiden kelompok hak-hak migran, Transient Workers Count Too, Deborah Fordyce.
Sementara itu, kepala eksekutif Samaritans of Singapore, Gasper Tan menjelaskan bahwa akses migran yang terbatas untuk mendapatkan dukungan dari teman dan keluarga, terutama selama penguncian dapat mengakibatkan perasaan negatif yang luar biasa.
"Mereka merasa terjebak, tidak dapat mengontrol atau mengubah keadaan mereka, dan mungkin merasa bahwa bunuh diri adalah satu-satunya pilihan yang tersisa untuk bebas dari pergumulan dan rasa sakit mereka," paparnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: