Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Siswa Dikenalkan Dengan Ponsel Pintar Dan Laptop, Alat Kecil Dan Sederhana Seperti Kaca Pembesar Justru Jadi Benda Asing

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Sabtu, 15 Agustus 2020, 06:38 WIB
Siswa Dikenalkan Dengan Ponsel Pintar Dan Laptop, Alat Kecil Dan Sederhana Seperti Kaca Pembesar Justru Jadi Benda Asing
Ilustrasi/Net
rmol news logo Jika sebuah rumah membutuhkan perbaikan, dan perbaikannya tertunda untuk waktu yang lama, apa yang terjadi? Para penghuninya tentu akan sangat cemas karena merasa tidak aman. Dan itu akan menimbulkan banyak kesulitan.

Analogi ini berlaku untuk kondisi pendidikandi India saat ini. Dan keputusan itu berkaitan dengan struktur yang dirancang untuk mengabaikan faktor-faktor lokal.

Walau dalam keadaan membutuhkan perbaikan, sekolah tidak memiliki otonomi kecuali menerima struktur yang sudah ditetapkan. Struktur ini dibangun untuk memastikan kepatuhan total, tidak peduli seberapa luas sistem itu.  Padahal, setiap sekolah mendambakan otonomi yang sederhana yang bisa  mempersatukan kepala sekolah dan guru dari berbagai segmen jaringan sekolah.  

Mantan Direktur Dewan Nasional Penelitian dan Pelatihan Pendidikan, Krishna Kumar mengatakan, mereka yang bertugas di sekolah yang dikelola pemerintah, tidak memiliki buku peraturan yang isinya memberikan kebebasan dalam hal apa pun yang sekiranya penting.  Tidak peduli seberapa senior Anda, tugas Anda adalah diam-diam mengikuti perintah dari surat edaran yang dikeluarkan oleh direktorat dan dewan penguji.

Sementara untuk sekolah swasta, Anda akan mendapati ‘pemain tambahan’ yang menjaga kepala sekolah dan guru ‘di bawah jempol’. Bagi pemilik dan manajer sekolah, pengetahuan dan pengalaman profesional kepala sekolah dan guru tidak banyak berarti.

Semua proses utama yang mempengaruhi kehidupan di sekolah tetap berada di bawah pelaksanaan otoritas terpusat, dan dewan penguji semakin memperketat cengkeraman mereka.

Di tengah wabah virus corona saat ini, sistem pendidikan semakin tidak beraturan. kota-kota besar memang telah terdampak cukup parah, tetapi kota-kota kecil bisa disebut lebih aman. Namun, di tengah pandemik otoritas pusat tetap menyamaratakan aturan di kota dengan di desa.

India memiliki lebih dari enam desa lakh. Tiap desa memiliki angka kasus dan dampak yang berbeda-beda. Tidak ada data konkrit terkait jumlah penderita Covid-19.

Standar dan fasilitas kesehatan yang berbeda pada akhirnya membuat penanganan Covid-19 juga berbeda, sehingga dampak yang ditimbulkannya pun berbeda. Namun aturan-aturan diberlakukan sama.

Dalam merespon wabah virus corona, tidak ada pertimbangan terpisah antara kebutuhan sekolah di desa dalam krisis saat ini dengan kebutuhan sekolah di kota. Sehingga semua sama, sekolah di desa dan sekolah di kota serentak ditutup, bahkan sejak akhir Maret.

Jatah makan siang anak-anak di sekolah telah ditukar dengan pembagian gandum dan uang selama masa penutupan sekolah.

Jika sekolah-sekolah di desa memiliki otonomi, mungkin banyak pihak yang akan menyuarakan bahwa kondisi setempat cukup baik untuk memungkinkan anak-anak datang untuk makan siang bersama dan menghabiskan waktu untuk belajar tatap muka. Mereka bisa tetap menjaga protokol kesehatan dengan menjaga jarak yang diatur oleh kepala sekolah dan guru.

Kumar memandang, tidak semua pembelajaran harus dilakukan di dalam kelas. Ideolog minimalis berpendapat bahwa literasi dan numerasi dasar adalah apa yang perlu kita fokuskan untuk meningkatkan kualitas.

Anak-anak mengalami 'kerugian belajar' selama pandemik, terutama ketika penguncian diberlakukan. Pengajaran online akhirnya diperdebatkan untuk mengkompensasi kerugian ini.

Ponsel cerdas dan laptop adalah barang baru yang digunakan untuk kebutuhan belajar jarak jauh. Padahal untuk anak-anak sekolah dasar kebutuhannya adalah melek huruf dan berhitung. Itu saja dulu. Namun, tentunya hal itu sudah dianggap kuno.
Psikologi anak telah menghasilkan bukti yang cukup untuk mengatakan bahwa dalam tahap-tahap pembentukannya, mereka mmebutuhkan kesempatan untuk mengamati fenomena alam, merepresentasikannya dalam berbagai bentuk dan menganalisisnya. Mereka butuh praktik dan suasana belajar yang nyata. Sekolah-sekolah di desa, di masa pandemik ini tidak mengkhawatirkan seperti sekolah di kota. Mestinya mereka bisa melaksanakan pembelajaran tatap muka.

Musim hujan menciptakan peluang besar untuk anak-anak usia dini dan usia sekolah dasar untuk mengamati, merekam, dan bersatu dengan alam. Burung-burung berjalan dengan santai di sawah yang basah, mencari makan. Anak-anak bisa membuat sketsa menggambarkan kisah itu atau menceritakan ulang apa yang dilihatnya. Ini hanyalah contoh; ada seratus hal yang bisa diamati pada tumbuhan dan pohon.

Alam pedesaan bisa membantu guru-guru di desa memberikan energi yang besar ke dalam pedagogi mereka dengan mendorong siswa menghabiskan waktu di luar ruangan untuk observasi yang ditugaskan.

Jika beberapa anak telah memperoleh ponsel cerdas untuk menerima instruksi online, mereka dapat merekam secara visual apa yang mereka perhatikan.

Pengamatan dan refleksi juga baik untuk mempromosikan berhitung dan melek huruf. Faktanya, Matematika dipelajari paling baik ketika Anda bersemangat tentang sesuatu dan menganggapnya layak untuk dihitung. Hal yang sama berlaku untuk menulis dan membaca.

Sayangnya, kita hidup di masa ketika hasil pembelajaran ditentukan sebelumnya dan pencapaiannya perlu dibuktikan secara klerikal, dengan tes, menurut Kumar. Harapannya, teknologi komunikasi dapat meningkatkan kualitas pedagogik yang ditunjang minat radio, kemudian televisi dan internet.

“Saya ingat beberapa kolega luar biasa yang mengabdikan hidup mereka pada teknologi pendidikan. Salah satunya adalah Dr. Vijaya Mulay yang tidak pernah lelah mengingatkan para pejabat bahwa kesuksesan teknologi yang sesungguhnya datang ketika ia memotivasi dan memungkinkan orang untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri,” kata Kumar.

“Gambar sehari-hari anak-anak malang yang mengintip ke layar kecil memang menyedihkan.”

Beberapa negara bagian yang lebih miskin sedang bermain-main dengan perangkat lunak yang akan memberi tahu guru apa yang harus dilakukan selanjutnya untuk meningkatkan kinerja anak dalam ujian.

Anehnya, para penggemar teknologi itu justru jarang berbicara tentang ketiadaan perangkat pembelajaran dasar di sekolah. Ketika semua siswa dikenalkan pada ponsel pintar dan laptop, sesuatu yang kecil dan sederhana seperti kaca pembesar justru malah menjadi  benda asing bagi siswa sekolah dasar.  

“Jika sekolah kita gagal memelihara pikiran yang bebas dan bijaksana di kalangan anak muda, salah satu alasannya adalah sekolah itu sendiri tidak memiliki kebebasan,” ujar Kumar. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA