Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Uni Afrika Bersama Para Pemimpin Dunia Kecam Kudeta Militer Mali

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Kamis, 20 Agustus 2020, 07:34 WIB
Uni Afrika Bersama Para Pemimpin Dunia Kecam Kudeta Militer Mali
Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita dan presiden Emmanuel Macron/Net
rmol news logo Berbagai kekuatan internasional satu suara soal kudeta militer yang terjadi di Mali pada Rabu (19/8), termasuk Uni Afrika yang akan menangguhkan keanggotaan negara itu sehari setelah tentara pemberontak menahan Presiden Ibrahim Boubacar Keita.

Selain Uni Afrika (UA), kecaman juga datang dari negara-negara Uni Eropa  dan Amerika Serikat menuntut agar para pemimpin militer segera membebaskan Keita, Perdana Menteri Boubou Cisse dan pejabat lainnya yang ditahan pada hari Selasa (18/8).

Keita berada di bawah tekanan dari protes berbulan-bulan atas stagnasi ekonomi, korupsi dan pemberontakan Islam yang terus berlanjut di Mali telah mengatakan dalam pidato yang disiarkan televisi beberapa jam setelah dia ditahan bahwa para pemimpin kudeta tidak memberinya pilihan selain mengundurkan diri.

Massa bersorak gembira saat mereka tiba di pusat Bamako pada hari Selasa. Puluhan ribu pengunjuk rasa telah turun ke jalan-jalan di Bamako sejak Juni  menyerukan agar Keita mengundurkan diri karena mereka menilai pemerintah gagal mengatasi masalah keamanan dan ekonomi.

Tentara pemberontak yang melancarkan kudeta, yang menyebut diri mereka Komite Nasional untuk Penyelamatan Rakyat, telah menjanjikan transisi ke pemerintahan politik sipil dengan pemilihan yang akan diadakan dalam 'waktu yang wajar'. Sementara itu mereka telah menutup wilayah perbatasan negara dan mengumumkan jam malam.

Seorang juru bicara junta, Ismael Wague, mengatakan pasukan anti-jihadis Barkhane Perancis dan misi penjaga perdamaian PBB di Mali serta pasukan dari negara-negara tetangga adalah 'mitra untuk stabilitas dan memulihkan keamanan'.

Namun, Prancis dan kekuatan internasional lainnya serta Uni Afrika telah mengecam pemberontakan tersebut. Mereka khawatir bahwa jatuhnya Keita dapat semakin mengguncang bekas koloni Prancis dan seluruh wilayah Sahel Afrika Barat.

UA menangguhkan keanggotaan Mali sebagai tanggapan atas perebutan kekuasaan militer dan penahanan presiden, hal itu diketahui dari unggahan blok dalam sebuah tweet pada hari Rabu (19/8). Penangguhan akan berlangsung sampai tatanan konstitusional dipulihkan, katanya. Mereka juga menuntut pembebasan presiden yang digulingkan bersama pejabat senior lainnya.

Ketua UA saat ini, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, menyerukan agar Mali segera kembali ke pemerintahan sipil.

Pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB yang diadakan pada hari Rabu mengutuk pemberontakan tersebut dan mendesak tentara untuk membebaskan semua pejabat pemerintah yang ditahan tanpa penundaan. Ke-15 anggota DK PBB itu menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk memulihkan supremasi hukum dan bergerak menuju kembali ke tatanan konstitusional.

Blok regional Afrika Barat yang berpengaruh, ECOWAS, mengatakan pihaknya mengirim delegasi tingkat tinggi untuk memastikan agar Mali segera kembali ke tatanan konstitusional. Blok yang beranggotakan 15 negara -termasuk Mali- juga mengatakan akan menangguhkan negara itu dari badan pembuat keputusan internalnya.

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan pada Rabu bahwa perang melawan kelompok teroris dan pertahanan demokrasi dan supremasi hukum tidak dapat dipisahkan, merujuk pada situasi di Mali.

"Membiarkan untuk memprovokasi ketidakstabilan dan melemahkan perjuangan kami. Itu tidak dapat diterima," tulis presiden Prancis di Twitter. Ia juga menyerukan agar kekuasaan untuk segera dikembalikan ke warga sipil serta menyerukan agar presiden Mali dan perdana menterinya segera dibebaskan, seperti dikutip dari AFP, Rabu (19/8).

Tentara Prancis telah bertempur di negara itu sejak 2013, setelah  Mali  memintanya untuk membantu mendapatkan kembali wilayah yang direbut oleh ekstremis Islam yang telah membajak pemberontakan Touareg di wilayah gurun utara negara itu tahun sebelumnya.

Militer Prancis berhasil dalam tugas awal ini - tetapi pemberontakan jihadis telah menyebar ke seluruh Mali dan melintasi perbatasan ke Niger dan Burkina Faso.

Dalam sebuah pernyataan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengecam penggulingan Keita.

"Amerika Serikat mengutuk keras pemberontakan 18 Agustus di Mali karena kami akan mengutuk setiap perebutan kekuasaan secara paksa. Kebebasan dan keamanan pejabat pemerintah yang ditahan dan keluarganya harus dijamin," tulis Pompeo.

Uni Eropa mengutuk peristiwa yang terjadi di Mali sebagai tindakan inkonstitusional.

"Uni Eropa mengutuk percobaan kudeta yang sedang berlangsung di Mali dan menolak semua perubahan inkonstitusional," kata kepala diplomatik Josep Borrell, dalam sebuah pernyataan pada Selasa.

Negara tetangganya Aljazair, juga menolak kudeta tersebut.

"Aljazair mengulangi penolakan tegasnya terhadap setiap perubahan anti-konstitusional pemerintah," kata kementerian luar negeri dalam sebuah pernyataan pada Rabu. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA