Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bergandengan Tangan Dalam Pakta Strategis, Iran-China Bikin Turki Demam

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Kamis, 20 Agustus 2020, 12:46 WIB
Bergandengan Tangan Dalam Pakta Strategis, Iran-China Bikin Turki Demam
Presiden Iran Hassan Rouhani dan Presiden China Xi Jinping, setelah pertemuan mereka di Istana Saadabad, Teheran, Iran, tanggal 23 Januari 2016 lalu/Net
rmol news logo Iran makin mengukuhkan kedekatannya dengan China. Belakangan kedua negara nampak ‘sengaja’ menunjukkan kedalaman hubungan mereka ketika  Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, untuk pertama kalinya mengakui bahwa negaranya pada Juli lalu telah merundingkan kemitraan strategis selama 25 tahun dengan China.

Pengumuman kemitraan itu disampaikan Zarif saat sesi parlemen, menyusul banyak kritik atas hubungan kedua negara. Beberapa pengamat  menilai, terjalinnya kemitraan itu menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan Turki, maka Iranlah yang terlihat lebih mapan secara regional.

Pakta kemitraan itu seolah meledek mereka yang selama ini mencibir hubungan Iran-China. Anggota parlemen  konservatif , seperti mantan Presiden  Iran Mahmoud Ahmadinejad, menentang dan dan menuduh pemerintah menyembunyikan perincian seputar perjanjian tersebut.

Banyak juga yang berpikir terlalu jauh, mengira bahwa pakta itu akan memungkinkan China  menjarah sumber daya negara dengan restu rezim, kemudian melepaskan kedaulatan negara, dan mengubah Iran menjadi negara  klien bagi China, seperti yang disampaikan peneliti politik asal Turki Ali Bakeer.

Isi draf teks setebal 18 halaman itu kemudian bocor di media sosial. Banyak yang menyebut jika draf itu adalah kerangka umum yang dinegosiasikan oleh kedua belah pihak mengenai kemitraan di bidang-bidang yang mencakup sektor ekonomi, energi, keuangan, perdagangan, pariwisata, infrastruktur, dan komunikasi, juga keamanan, pertahanan, militer, dan intelijen.

Tidak seperti di negara lain seperti India, Pakistan, dan beberapa negara Teluk Arab, Pakta Iran-China mulanya tidak menjadi perhatian pers Turki, sebab isu lain seputar regional Turki jauh lebih ‘panas’, mendesak, dan mengkhawatirkan. Namun, rupanya mengkhawatirkan juga jika isu itu diabaikan begitu saja apalagi dipandang dari sisi keamanan, perjanjian tersebut dapat menimbulkan tantangan bagi kepentingan vital.

“Di Libya, semakin banyak  bukti dukungan Iran terhadap sekutunya, yaitu Assad dan Rusia, yang mendukung panglima perang Khalifa Haftar melawan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui PBB, dan yang didukung oleh Turki,” kata Ali Bakeer.

“Dalam konteks ini, ada tiga hal terkait pakta Iran-China yang mungkin menjadi alarm di Ankara. Pertama, adalah pertanyaan tentang bagaimana Iran akan menggunakan uang yang akan diterimanya dari China,” lanjutnya

Perjanjian strategis akan memungkinkan Teheran untuk menghindari sanksi AS yang memungkinkannya mengakses sejumlah besar dana sebagai imbalan atas minyak yang dikirim ke Beijing. Akankah Teheran memilih menggunakan uang itu untuk mendanai aktivitas dan proksi regionalnya yang berbahaya, atau membantu rakyatnya sendiri?

“Ini akan mempersulit misi Ankara di tempat-tempat seperti Suriah, Irak, dan mungkin Libya juga,” tegas Ali Bakeer dalam ulasannya.

Kedua, mengingat usulan kerja sama antara Iran dan China dalam industri pertahanan -ada spekulasi bahwa embargo senjata PBB terhadap Iran akan berakhir pada bulan Oktober- keadaan bisa menjadi jauh lebih menantang bagi Turki.

Menurut Ali Bakeer, Iran sudah memasok proksi, waralaba IRGC, dan sekutunya dengan berbagai senjata termasuk senjata anti-tank, senjata anti-kapal, senjata anti-udara, drone, peluncur roket Katyusha, dan bahkan rudal balistik. Hizbullah, misalnya, memiliki  rudal balistik buatan Iran yang dapat menjangkau hingga Irak, Yordania, dan Sinai di Mesir.

Penyebaran senjata buatan Iran dengan bantuan China akan menimbulkan risiko keamanan yang lebih besar bagi Ankara, Ali Bakeer menduga seraya menambahkan bahwa selama beberapa tahun terakhir Teheran telah membantu musuh Ankara di Suriah, Irak, dan Libya dengan senjata.

Sejak 2016, Turki telah  memperhatikan peningkatan senjata buatan Iran yang dimiliki oleh PKK, sebuah organisasi yang diakui sebagai teroris oleh Turki, AS, dan UE.

Di Suriah, situasinya tidak berbeda. Selama Operasi Cabang Zaitun di Afrin pada Januari 2018, Turki  menyita sejumlah besar senjata buatan Iran milik YPG, cabang organisasi teror PKK di Suriah.

Baru-baru ini, Iran berjanji untuk melengkapi rezim Assad dengan sistem pertahanan anti-udara.

Mengenai China, pakta dengan Iran diharapkan dapat meningkatkan kehadiran dan pengaruhnya di Teluk dan kawasan, di era penurunan AS. Variabel ini dapat membahayakan kepentingan regional Ankara dan menantang peningkatan peran keamanannya.

Turki dan China berselisih dalam beberapa masalah regional. Meskipun Beijing cenderung menggambarkan keterlibatannya di kawasan itu sebagai murni netral dan bersifat ekonomi, beberapa tahun terakhir telah mengungkap sebaliknya.

China, misalnya, mendukung rezim Assad melawan rakyatnya dengan menggunakan hak vetonya di dewan keamanan PBB  sebanyak 10 kali antara 2011 dan 2020

Masalah mengkhawatirkan lainnya bagi Turki adalah kerja sama militer Iran-China. Beberapa orang berpendapat bahwa Teheran dan Beijing sedang merundingkan kemungkinan kesepakatan senjata besar yang akan meningkatkan kemampuan militer konvensional Iran dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya, terutama sejak berdirinya Republik Islam.

Di front Libya, Haftar sangat bergantung pada senjata canggih China, seperti drone Wing Loong-2 versus GNA yang diakui PBB yang didukung Turki. Pakta Iran-China yang akan memberdayakan Beijing di kawasan itu, hanya akan memperkuat tren ini dan meningkatkan ancaman regional yang datang dari China.

Terakhir, krisis Teluk 2017 telah mendorong Turki untuk  memainkan peran langsung dalam keamanan Teluk untuk pertama kalinya dalam hampir satu abad.

Pakta Iran-China mungkin menawarkan pijakan militer bagi Beijing di daerah tersebut. Meskipun pemerintah Iran menyangkal hal ini, banyak laporan menunjukkan bahwa Pulau Kish yang strategis akan  diserahkan ke China dan diubah menjadi pangkalan militer, sementara yang lain mengantisipasi bahwa Beijing dapat ditawari fasilitas militer di tempat lain di sepanjang pantai Iran.

Sementara Ankara dan Beijing tidak memiliki kapasitas, atau keinginan untuk menggantikan peran keamanan AS di Teluk, memberi China pijakan di kawasan itu tentu akan memperumit perhitungan Turki. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA