Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Lukashenko Dan Putin, Siapa Yang Lebih Otoriter?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Kamis, 27 Agustus 2020, 11:23 WIB
Lukashenko Dan Putin, Siapa Yang Lebih Otoriter?
Aleksandr Lukashenko dan Vladimir Putin/Net
rmol news logo Belarusia di bawah kepemimpinan Presiden Aleksandr Lukashenko adalah “kediktatoran sejati yang tersisa di jantung Eropa.” Penggambaran itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Amerika saat itu, Condoleezza Rice, atas upaya rezim penguasa itu untuk dapat terus menjadi orang nomor satu.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Lima belas tahun kemudian, penggambaran itu masih dapat dilihat oleh banyak orang. Pada pemilihan Belarusia tahun ini, rezim Lukashenko disebut-sebut kembali mengulangi kecurangan yang membuat massa marah dan meledakkan aksi protes  yang berujung kerusuhan mengerikan.

Aparat bertindak brutal dan menangkapi sekitar 7.000 orang yang terus-terusan berteriak ‘Turunkan Lukashenko’.

Jika massa yang mengamuk itu benar-benar berhasil menggulingkan Lukashenko, apakah harapan mereka untuk hidup di negeri yang tanpa kepemimpinan otokrat akan terwujud?

Siapa lagi di dunia ini yang memiliki pemimpin otoriter?

Masih ada Vladimir Putin, seorang otokrat keras kepala yang terus mengikis hak asasi manusia dan norma-norma demokrasi di Rusia, tulis Foreign Policy. Putin juga telah  merekayasa perubahan konstitusi yang secara efektif bakal menjadikannya presiden seumur hidup.

Kedua pemimpin itu memiliki banyak kesamaan, dan itu yang membuat hubungan mereka begitu dekat. Lukashenko bahkan mengadu kepada Putin soal aksi protes yang melanda Belarus pasca kemenangannya pada pemilihan yang berlangsung 9 Agustus lalu.

Walau ada banyak kesamaan, tetapi tidak ada orang yang benar-benar sama.

Lukashenko naik ke tampuk kekuasaan pada 1990-an sebagai populis yang berjanji untuk melawan elit negara. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dia tidak menunjukkan minat yang kecil untuk mengembangkan dukungan rakyat. Foreign Policy menulis, Lukashenko  membiarkan ekonomi Belarusia tertatih-tatih dari krisis ke krisis dan justru sibuk menyiapkan panggung untuk pemberontakan di seluruh negeri yang sekarang sedang berlangsung.

“Ini sangat pribadi. Ini sangat sultanistik,” kata Ryhor Astapenia, seorang rekan di Chatham House dan pendiri serta direktur penelitian dari Center for New Ideas di Belarus. “Elit tidak memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan.”

Sementara, sistem kontrol Putin lebih canggih. Sentimen publik dipantau dengan cermat. Dia telah terbukti cukup cerdas untuk bisa menenangkan para pemilihnya, setidaknya untuk beberapa waktu. Membuat orang-orang yang tidak puas padanya justru malah bisa bersatu.

Lukashenko menghadapi beberapa tantangan serius dalam lima pemilihan presiden berturut-turut dan memenjarakan calon oposisi karena mengorganisasi protes jalanan. Lukashenko bahkan bangga dengan otoritarianismenya dengan mengatakan, “Lebih baik menjadi diktator daripada gay,” pada 2012.

Kalimat itu ia lontarkan untuk membalas kata-kata Guido Westerwelle, menteri luar negeri yang terang-terangan memperlihatkan dirinya sebagai seorang gay, yang telah mengkritik Lukashenko sebagai ‘diktator terakhir Eropa’.

Nyatanya, Lukashenko bukanlah otoriter terakhir, negara tetangga Belarusia itu memiliki seorang pemimpin bertangan besi yang menindas warga dan hak asasi, yaitu Vladimir Putin.

Namun, tidak seperti Lukashenko, Putin telah berusaha keras untuk menghindari perebutan kekuasaan yang tidak pantas, bahkan ketika ia telah berhasil memerintah Rusia selama 20 tahun.

Pada 2008, saat Putin mencapai batas dua masa jabatan yang diamanatkan konstitusional, ia mengundurkan diri menjadi perdana menteri tetapi masih secara luas dianggap sebagai kekuatan di balik takhta.

Terakhir, dia memulai referendum tentang perubahan besar-besaran pada konstitusi yang disahkan bulan lalu, memungkinkan dirinya mencalonkan diri untuk dua masa jabatan lagi dan tetap berkuasa hingga 2036. Padahal, tidak ada kebutuhan hukum untuk mengadakan referendum, karena anggota parlemen menyetujui perubahan konstitusi awal tahun ini.

Rusia juga menyempurnakan seni disinformasi, baik di dalam maupun luar negeri. Acara berita yang diproduksi secara apik di TV pemerintah Rusia menunjukkan realitas alternatif di mana Ukraina telah dikuasai oleh NAZI, kaum gay adalah ancaman bagi anak-anak, dan Donald Trump mungkin adalah pemasok pandemik virus corona.

Pakar disinformasi Peter Pomerantsev, pada 2014, pernah mengatakan bahwa tujuan dari pesan ini bukan untuk meyakinkan publik Rusia bahwa salah satu dari hal-hal ini nyata adanya. Namun, justru untuk membuat orang menjadi bingung, paranoid, dan pasif.

Sebaliknya, di Belarusia, TV negara sangat ketinggalan dan kekurangan dana.

“TV Rusia jauh lebih profesional, hanya karena mereka punya lebih banyak uang dan sumber daya. Banyak orang Belarusia menonton TV [Rusia] ini karena isinya lebih menarik,” kata Katsiaryna Shmatsina, analis politik Institut Belarusia untuk Kajian Strategis.

Ketika Belarusia menjadi sorotan dalam beberapa minggu terakhir karena ledakan aksi protes, Kremlin malah telah berhasil menekan protes massa di wilayah Timur Jauh Khabarovsk.  Di sini, orang Rusia di seluruh negeri dapat menemukan diri mereka dalam kesepakatan tentang sumber masalah mereka.

Rusia mengeluarkan kebijakannya untuk membantu masalah aksi protes Belarusia. “Saya pikir salah satu pendorong kebijakan Rusia di Belarusia justru kekhawatiran, apa yang terjadi di Belarusia menciptakan preseden yang tidak diinginkan untuk Putin dan Kremlin,” kata Nigel Gould-Davies, mantan duta besar Inggris untuk Belarus.

Sementara, Shmatsina dari Institut Belarusia untuk Kajian Strategis mengatakan dengan singkat, “Tidak mungkin untuk tetap berkuasa. Dan sulit untuk menyenangkan semua orang.” rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA