Berbicara dalam konferensi pers virtual Kementerian Luar Negeri pada Kamis (27/8), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengurai alasan Indonesia mengambil keputusan tersebut.
Ia menjelaskan, Indonesia sebagai Presiden DK PBB mendapatkan surat resmi dari Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo pada 20 Agustus 2020 untuk meminta dimulainya proses mekanisme
snapback.
"Setelah menerima surat Menlu AS, Presiden DK juga menerima surat terpisah dari 13 negara anggota DK PBB lainnya, termasuk Indonesia, yang intinya tidak sejalan dengan pandangan AS," jelas Retno.
Kemudian sebagai Presiden DK PBB, kata Retno, Indonesia melakukan konsultasi bilateral secara inklusif dengan semua anggota sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. Itu dilakukan Indonesia untuk mendapatkan pandangan masing-masing anggota terkait langkah yang dapat dilakukan Presiden DK PBB.
Setelah itu, bertepatan pada pertemuan virtual terbuka DK PBB mengenai isu Timur Tengah yang diadakan pada Selasa, beberapa negara secara langsung menanyakan hasil konsultasi tersebut.
"Menjawab pertanyaan tersebut, Indonesia selaku Presiden DK menyampaikan hasil konsultasinya yang menunjukkan bahwa tidak ada konsensus mengenai permintaan
snapback mechanism," jelas Retno.
"Selama menjalankan tugasnya sebagai Presiden DK PBB, ingin saya tekankan, Indonesia selalu menjunjung tinggi prinsip inklusifitas, transparansi, dan imparsialitas," imbuhnya.
Indonesia sendiri menjalankan mandat sebagai Presiden DK PBB untuk kedua kalinya. Sebelumnya, Indonesia sudah menjalankan tugas yang sama pada Mei 2019.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: