Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Shinzo Abe Mundur Sebagai PM Jepang, Bagaimana Nasib Abenomics?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Jumat, 28 Agustus 2020, 22:34 WIB
Shinzo Abe Mundur Sebagai PM Jepang, Bagaimana Nasib Abenomics?
Shinzo Abe memutuskan untuk mundur dari kursi Perdana Menteri Jepang karena masalah kesehatannya yang menurun/Net
rmol news logo Negeri Sakura menyedot perhatian dunia jelang akhir pekan ini. Pasalnya, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengumumkan bahwa dia mundur dari jabatannya karena masalah kesehatannya yang semakin memburuk. 
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

"Tiga belas tahun yang lalu, penyakit saya muncul dalam satu tahun. Mengharuskan saya untuk mundur sebagai perdana menteri. Setelah itu saya mengonsumsi obat untuk menyembuhkan diri," ujar Abe dalam konferensi pers di Tokyo (Jumat, 28/8).

"Selama delapan tahun menjabat sebagai perdana menteri, saya tidak mengalami masalah dalam kesehatan. Namun tahun ini, tepatnya pada Juni, ketika saya melakukan check up, dokter mengatakan penyakit tersebut muncul lagi," sambungnya.

Karena itulah dia memutuskan untuk mundur demi kepentingan Jepang.

"Saya tidak bisa membuat kebijakan yang salah dalam politik. Saya tidak dapat melanjutkan jabatan ini. Saya memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai perdana menteri," ungkap Abe.

Pada kesempatan yang sama, Abe pun menyampaikan permintaan maafnya.

"Saya meminta maaf kepada seluruh rakyat Jepang," kata Abe.

Mundurnya Abe sebagai perdana menteri Jepang membawa tanda tanya besar, terutama terkait dengan kebijakan ekonominya yang populer dengan istilah Abenomics.

Abenomics sendiri merupakan akronim dari kata "Abe" dan "Economics". Kebijakan ini dia gunakan setelah berkuasa di akhir tahun 2012. Melalui kebijakan ini, Abe hendak menarik ekonomi Jepang keluar dari stagnasi dan mengekspansi ekonomi Jepang yang sempat terhambat akibat resesi ekonomi global.

Melalu Abenomics, Abe menggunakan "tiga anak panah", yakni pelonggaran moneter skala besar, pengeluaran fiskal, dan reformasi struktural. Tujuannya adalah untuk menghidupkan kembali ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah bertahun-tahun mengalami pertumbuhan di bawah standar dan penurunan harga.

Sebenarnya, istilah kebijakan ekonomi semacam itu bukan hal baru di ranah internasional. Di Amerika Serikat pernah ada istilah serupa seperti Clintonomics, kebijakan ekonomi ala mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dan Rogernomics, kebijakan mantan Menteri Keuangan Selandia Baru Roger Douglas.

Abenomics sempat membuat sejumlah keberhasilan dengan sangat cepat, seperti dalam program stimulus "bazooka" Bank of Japan. Dikabarkan NHK, berdasarkan kebijakan tersebut, Bank of Japan membeli sejumlah besar obligasi pemerintah untuk meningkatkan likuiditas pasar. Itu membantu melemahkan yen, yang mendukung ekspor. Kondisi itu juga menyebabkan kenaikan upah dan pembukaan lapangan kerja baru.

Selain itu, reformasi tata kelola perusahaan berhasil menarik banyak uang dari luar negeri, mendorong kepemilikan asing atas saham yang terdaftar di Jepang ke rekor 31,7 persen pada 2014 dari 28 persen pada 2012 dan berdiri di 29,6 persen pada 2019.

"Kami mampu mengakhiri 20 tahun deflasi dengan tiga panah Abenomics," kata Abe dalam konferensi pers terkait pengunduran dirinya, ketika ditanya apa yang menurutnya adalah "warisan" jabatannya.

Namun sejumlah pengamat ekonomi menilai bahwa Abenomics sebenarnya sudah goyah, bahkan sebelum Abe mengumumkan untuk mundur. Mereka menilai bahwa Abe akan meninggalkan setumpuk urusan yang belum selesai untuk penggantinya.

"Fokus saat ini adalah pemulihan virus corona dan pengendalian infeksi, terlepas dari siapa yang akan menjadi perdana menteri berikutnya," kata kepala ekonom di Norinchukin Research Institute, Takeshi Minami.

"Ada pembicaraan bahwa Abenomics telah memberikan dampak yang berbahaya, jadi saya pikir fokus utamanya adalah pada saran bagaimana membuat perubahan pada itu." jelasnya, seperti dikabarkan Reuters.

Kekecewaan terbesar bagi perdana menteri, dan banyak pengamat Jepang, adalah bahwa reformasi "tiga anak panah" untuk membentuk kembali ekonomi Jepang yang tertatih-tatih oleh produktivitas rendah, populasi yang menua dengan cepat, dan pasar tenaga kerja yang kaku, terbukti sulit dipahami.

"Abenomics gagal memberikan Jepang kondisi domestik yang akan memicu pertumbuhan yang lebih tinggi melebihi ketergantungan pada permintaan eksternal," kata Managing Partner di Asian Century Quest, Brian Kelly.

Sekarang, Jepang harus membayar "harga", karena Covid-19 menghapus manfaat jangka pendek yang dibawa oleh Abenomics, seperti ledakan pariwisata masuk, pertumbuhan yang meningkat, dan meningkatnya ketersediaan pekerjaan.

Di sisi lain, kegagalan Abe untuk membujuk perusahaan agar membelanjakan lebih banyak untuk belanja modal telah memberi Japan Inc tumpukan uang besar yang berfungsi sebagai penyangga likuiditas untuk mengatasi guncangan pandemi.

Namun kondisi tersebut justru dapat memberi perusahaan alasan untuk terus menimbun uang daripada membelanjakan untuk peluang bisnis baru, yang dapat menghambat inovasi dan membebani potensi pertumbuhan Jepang. Padahal, faktor-faktor itu merupakan fokus Abe untuk diatasi melalui "panah ketiga" ala Abenomics.

"Covid-19 mungkin telah meyakinkan para eksekutif perusahaan bahwa uang tunai memang raja," kata seorang rekan senior di Tokyo Foundation for Policy Research, Hideo Hayakawa.

"Ketakutan saya adalah bahwa perusahaan mungkin merasa lebih cenderung untuk menabung daripada membelanjakan," tambahnya.

Selain itu, kebijakan jarak sosial dan kendala bisnis lain untuk menahan laju penularan Covid-19 dapat melumpuhkan potensi pertumbuhan Jepang.

Menurut perkiraan Bank of Japan, tingkat pertumbuhan potensial Jepang, yang dulunya melebihi 4 persen pada 1980an, turun mendekati nol tahun lalu dari sekitar 1 persen sebelum Abenomics dimulai.

"Reformasi struktural, atau panah ketiga, telah menyatakan kegagalan Abenomics," kata kepala ekonom Inggris di Pantheon Macroeconomics, Samuel Tombs.

"Bahkan reformasi imigrasi yang menjadi ciri khas pemerintah tahun lalu tidak ada artinya, dalam praktiknya," sambungnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA