Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Belajar Dari Sejarah Pahit, Dubes Aghajanian: Armenia Menjunjung Tinggi Kemanusiaan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Jumat, 04 September 2020, 12:13 WIB
Belajar Dari Sejarah Pahit, Dubes Aghajanian: Armenia Menjunjung Tinggi Kemanusiaan
Dutabesar Republik Armenia untuk Indonesia Dziunik Aghajanian dalam program RMOL World View/RMOL
rmol news logo Armenia merupakan negara kecil terkurung daratan yang menyimpan sejuta cerita dan sejarah nan menarik untuk dipelajari.

Jika membuka kembali lembaran sejarah, kita akan mengetahui bahwa Armenia merupakan negara di dunia yang mengakui Kristen sebagai agama resmi negara sejak 301 Masehi. Namun kini, konstitusi negara dengan populasi sekitar 3 juta jiwa itu mengamanatkan sebagai negara sekuler.

Meski begitu, Armenia sangat menjunjung tinggi persamaan hak untuk etnis atau agama apapun.

"Saat ini, mayoritas dari penduduk Armenia beragama Kristen. Tapi kita juga punya 11 etnis minoritas yang diakui oleh pemerintah Armenia, salah satunya adalah minoritas Kurdi yang merupakan Muslim dan juga Yazidi," jelas Dutabesar Republik Armenia untuk Indonesia Dziunik Aghajanian dalam program RMOL World View bertajuk "Armenia, Artinya Bagi Indonesia" yang digelar dari Kedutaan Besar Republik Armenia di Jakarta awal pekan ini.

Dia menjelaskan bahwa baik mayoritas ataupun minoritas di Armenia memiliki kesetaraan serta kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, sebagai bagian dari masyarakat Armenia.

"Jadi kami tidak membeda-bedakan mereka dari masyarakat hanya karena berlandaskan agama," sambungnya.

"Lebih dari itu, kami justru membantu mereka untuk bisa menulis text book mereka sendiri, mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan pemerintah Armenia memberikan dukungan untuk melindungi dan menjaga bahasa ibu serta tradisi dan budaya mereka. Tentu saja, mereka juga memiliki hak untuk memiliki tempat ibadah sendiri," papar Aghajanian.

Dia menerangkan bahwa salah satu tempat ibadah yang ikonik dan bahkan terletak di jantung ibukota Yerevan, adalah Masjid Biru atau Blue Moqsue.

"Kalau Anda ke Yerevan, Anda akan menemukan salah satu masjid tertua di kawasan, yakni Blue Mosque berdiri dengan megah dan ketika direnovasi dulu didukung oleh pemerintah Iran. Masjid itu berdiri dengan sangat indah dengan arsitektur yang menakjubkan di tengah kota," ujar Aghajanian.

Dia menuturkan bahwa belajar dari sejarah panjang yang menyakitkan, warga Armenia selalu percaya pada kemanusiaan dan pendidikan. Dia meyakini bahwa agama seharusnya bukan alat untuk memecah belah manusia.
 
"Kita percaya bahwa hubungan antara individu berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan adalah dasar yang solid untuk menilai orang lain, daripada agama," sambungnya.

Aghajanian menambahkan bahwa menurutnya, agama merupakan manifestasi dari identitas seseorang dan setiap orang memiliki hak untuk melindungi identitas mereka, termasuk agama mereka masing-masing.

"Saya rasa jika Anda melihat lagi ke sejarah, agama kerap disalahgunakan untuk tujuan politik dalam berbagai tingkatan waktu yang berbeda. Karena di beberapa tempat, agama merupakan faktor pemersatu," ujarnya.

"Tapi jika kami belajar dari sejarah Armenia, juga tragedi menyakitkan soal genosida, jika hubungan antar manusia dijalankan dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan penghormatan satu sama lain, kekerasan di masa lalu tidak akan terjadi," sambung Aghajanian.

"Karena tidak ada satupun agama yang menganjurkan untuk melakukan kejahatan," tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA