Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Facebook Tolak Siarkan Proses Kematian Pria Prancis, Presiden Macron Tidak Kabulkan Eutanasia

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Senin, 07 September 2020, 10:30 WIB
Facebook Tolak Siarkan Proses Kematian Pria Prancis, Presiden Macron Tidak Kabulkan Eutanasia
Presiden Prancis Emmanuel Macron/Net
rmol news logo Pupus sudah harapan seorang pria asal Prancis bernama Alain Cocq yang ingin menyiarkan langsung proses kematiannya lewat siaran langsung di Facebook, usai raksasa media sosial itu memblokir akunnya selama beberapa hari.

Dalam sebuah siaran live ke Facebook tepat setelah tengah malam pada 5 September, pria Prancis berusia 57 tahun itu mengumumkan kepada pengikutnya rencananya untuk mati. Cocq memiliki kondisi medis yang sangat langka, menyakitkan, dan tidak dapat disembuhkan yang menyebabkan dinding arterinya saling menempel. Cocq mengatakan bahwa dia berada di tahap akhir dari penyakit yang dideritanya selama 34 tahun terakhir.

Sambil mengangkat gelas plastik, Cocq menunjuk ke arah kamera dan berkata, “Baiklah, teman-teman, saya akan minum untuk kesehatan Anda untuk yang terakhir kalinya,” sepert dikutip dari France 24, Minggu (6/9).

Namun, siaran live-nya itu gagal disiarkan. Facebook telah memblokir akunnya.

Setelah gagal mengajukan petisi kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mengizinkannya mati dengan bermartabat melalui bantuan medis, Cocq mengumumkan bahwa dia akan berhenti makan dan minum, mulai Jumat (4/9) malam waktu setempat, dan bahwa dia akan menyiarkan langsung prosesnya di Facebook.

Tetapi platform media sosial itu dengan cepat bergerak untuk melarang aksi Cocq untuk memposting videonya yang nyeleneh itu. Hal itu dikonfirmasi sendiri oleh Cocq kepada lebih dari 22 ribu pengikut dan 4000 teman Facebooknya, dia mengatakan bahwa Facebooks telah memblokirnya hingga 8 September mendatang. Sebelumnya dia mengatakan bahwa dia diperkirakan akan mati dalam dua hingga lima hari ke depan.

“Facebook telah memblokir saya untuk menyiarkan video hingga 8 September. Sekarang terserah Anda [untuk bertindak],” katanya.

Namun keputusan Facebook itu tak membuatnya menyerah, Cocq mengatakan bahwa dia akan menemukan solusi lain untuk melakukan aksinya. Namun dia juga meminta para pengikutnya untuk memprotes “metode diskriminasi yang tidak adil dan penghalang kebebasan berekspresi”.

Facebook telah menganggap rencananya untuk melakukan siaran langsung sebagai aksi bunuh diri, di mana hal tersebut dilarang di jejaring sosial. Seorang juru bicara dari Facebook Prancis mengatakan kepada surat kabar Prancis Le Monde bahwa perusahaan menghormati keputusannya, namun tak bisa menyiarkan aksinya tersebut.

“Kami menghormati keputusannya yang ingin menarik perhatian ke masalah yang kompleks ini, namun  peraturan mengharuskan perusahaan untuk memblokir videonya, karena aturan kami tidak mengizinkan pertunjukan upaya bunuh diri.”

Alain Cocq telah lama berkampanye untuk menyuarakan hak atas kematian yang dibantu secara medis. Dia pernah melakukan perjalanan dengan kursi roda dari rumahnya di Dijon di Prancis timur ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa di Strasbourg, ke lembaga-lembaga Eropa di Brussel dan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa untuk bertemu dengan anggota parlemen dan mengadvokasi hak untuk eutanasia aktif (tindakan secara aktif, baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan kematian).

Cocq menjelaskan kepada media Prancis bahwa dia ingin menunjukkan saat-saat terakhir penderitaannya kepada ribuan orang secara online sehingga orang-orang tahu seperti apa akhir hidupnya itu di Prancis.

Meskipun demikian dia tidak ingin video itu terlalu mengecewakan bagi pemirsa. Dia berencana untuk menyiarkannya tanpa suara dan kamera akan berhenti merekam begitu dia meninggal.

“Bagi saya, tidak mungkin menampilkan gambar yang mengganggu. Saat saya meninggal akan menjadi pembebasan. Pertarungan akan terus berlanjut setelah aku,” katanya.

Kondisi Cocq yang memburuk telah mengurungnya di tempat tidur di rumah, di mana Cocg mengatakan bahwa dia telah dilumpuhkan oleh rasa sakit yang tak tertahankan. Dia menulis surat kepada Presiden Prancis yang memintanya untuk membiarkan dia meninggal dengan damai.

Dalam tanggapan yang diterima Cocq pada 3 September lalu, Emmanuel Macron menulis bahwa dia tersentuh oleh permohonan Cocq, tetapi mengatakan bahwa dirinya tidak bisa mengabulkan permintaan Cocq.

“Karena saya tidak kebal hukum, saya tidak dapat mengabulkan permintaan Anda,” kata Macron.

Eutanasia adalah sesuatu yang ilegal di Prancis. Undang-undang Claeys-Leonetti, yang diubah pada 2016, memberikan hak kepada pasien yang sakit parah untuk dibius sampai meninggal, tetapi hanya dalam keadaan tertentu -misalnya, jika kematian sudah dekat. Dan ini tidak terjadi pada Cocq.

Delegasi jenderal Asosiasi pour le droit à mourir dans la dignité [Asosiasi Hak untuk Mati dalam Martabat] Philippe Lohéac mengatakan kepada France 24 dengan putus asa bahwa ‘celah tunggal’ dalam hukum Claeys-Leonetti bagi mereka yang berada di akhir hidup mereka adalah kemungkinan untuk mati karena kelaparan dan kehausan.

“Itu hukum Leonetti,” tambahnya. “Hari ini, Alain Cocq. Besok, itu akan menjadi orang lain,” katanya.

Menurut survei yang dilakukan oleh organisasi amal tersebut pada 2019, 96 persen orang Prancis mendukung eutanasia ketika pasien mengalami penderitaan yang serius dan tidak dapat disembuhkan.

Prancis jauh lebih kaku dalam masalah ini daripada negara-negara Eropa lainnya. Di Eropa ada lima negara termasuk Belgia, Belanda, Swiss, Jerman, dan Luksemburg yang melegalkan eutanasia dengan bantuan dokter.

Prancis memiliki kasus profil tinggi lainnya yang mirip dengan kasus yang dialami Cocq. Vincent Lambert, menjadi lumpuh dan dalam keadaan vegetatif setelah kecelakaan sepeda motor pada tahun 2008. Dia tetap seperti itu selama 11 tahun ini, sementara keluarganya memperdebatkan apakah dia harus hidup atau mati. Setelah perjuangan hukum yang panjang, dokter akhirnya mencabut dukungan hidup dan dia meninggal pada Juli tahun lalu.

Pada Februari tahun ini, menteri kesehatan Prancis saat itu Agnès Buzyn mengatakan bahwa pemerintah akan kembali melihat masalah akhir hidup dan perawatan paliatif, sebuah rencana yang kemudian diganggu oleh pandemik Covid-19. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA