Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menilik Eksistensi Agama Di Eropa Yang Sekuler: Masihkah Dibutuhkan?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sarah-meiliana-gunawan-1'>SARAH MEILIANA GUNAWAN</a>
LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN
  • Sabtu, 12 September 2020, 07:50 WIB
Menilik Eksistensi Agama Di Eropa Yang Sekuler: Masihkah Dibutuhkan?
Dekan Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Ali Fatimah Nur Fuad dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertajuk "Islam dan Islamophobia di Eropa", Jumat malam (11/9)/RMOL
rmol news logo Pembahasan mengenai eksistensi agama di negara-negara sekuler sudah banyak dilakukan. Namun pertanyaan "Apakah agama diabaikan atau masih dibutuhkan?" masih menjadi perdebatan.

Para sosiolog agama dan teolog mengatakan, ketika dampak modernisasi semakin kuat, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang, maka persoalan hidup manusia dapat diselesaikan dengan sains.

"Maka di situ agama sudah tidak berperan atau peran agama sudah terpinggirkan," demikian yang disampaikan Dekan Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jakarta, Ali Fatimah Nur Fuad.

Dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertajuk "Islam dan Islamophobia di Eropa" yang digelar pada Jumat malam (11/9), Ali sapaannya, mengatakan bahwa hal-hal suci seperti agama tidak dianggap penting ketika era industri.

Bahkan sosilog menggambarkan situasi tersebut sebagai the decline of religion dan teolog menyebutnya sebagai the death of God.

Namun, apakah benar agama sudah tidak eksis di negara-negara sekuler seperti di Eropa?

Ali menjelaskan, banyak sosiolog yang masih mempercayai bahwa agama masih eksis dan bahkan mempengaruhi kehidupan orang sekuler. Tetapi, pada praktiknya terjadi pergeseran dari ranah publik menjadi privat.

"Sebetulnya, kepercayaan orang Eropa terhadap Tuhan itu masih tinggi, di atas 70 persen bahkan di atas 80 persen. Tetapi memang perbedaannya adalah tingkat kehadiran orang Eropa ke gereja sangat rendah," paparnya.

Islam di Eropa

Di tengah situasi tersebut, muslim mau tidak mau juga harus beradaptasi. Terlebih, banyak muslim di Eropa merupakan migran dari Asia Selatan, seperti India dan Bangladesh.

Ali mengungkap, ada tiga kelompok muslim di Eropa yang sekuler saat ini.

"Kelompok pertama, modernis muslim, biasanya young professional. Mereka memiliki pemikiran utama untuk berbaur tanpa kehilangan identitas keislamannya," jelasnya.

Kelompok kedua adalah muslim yang mengisolasi diri. Artinya, mereka membentuk komunitas sendiri dengan masjid dan orang-orang yang memiliki satu pemahaman.

Setelah itu, ada kelompok muslim yang menolak sistem di Eropa. Mereka biasanya adalah orang-orang radikal yang menjunjung tinggi kekhalifahan.

Banyaknya muslim di Eropa yang ditandai dengan munculnya berbagai masjid di penjuru negara Benua Biru tersebut ternyata memicu ketakutan tersendiri bagi warga asli. Mereka khawatir identitas Eropa asli akan tercabut oleh para pendatang.

"Kemudian Islamophobia muncul sebagai gesekan-gesekan dari belum menerimanya keadaan muslim," terangnya.

Meski begitu, Ali meyakini, pemerintah Eropa berupaya untuk menghentikan aksi rasisme. Walaupun banyak kebijakan mereka yang bias atau terkesan berstandar ganda. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA