Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

PBB Desak Myanmar Segera Lakukan Gencatan Senjata Untuk Akhiri Konflik

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Rabu, 16 September 2020, 14:34 WIB
PBB Desak Myanmar Segera Lakukan Gencatan Senjata Untuk Akhiri Konflik
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi/Net
rmol news logo Badan Perserikatan Bangsa-bangsa telah mendesak pemerintah Myanmar di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi agar segera mengambil langkah-langkah untuk memulihkan perdamaian di negara itu.

Desakan itu dilatar belakangi keprihatinan PBB atas pelanggaran hak asasi manusia dan bentrokan bersenjata yang terus berlangsung di Myanmar.

“Myanmar terus menyaksikan bentrokan bersenjata yang intensif antara Tatmadaw [tentara Myanmar] dan organisasi etnis bersenjata, terutama di negara bagian Rakhine, Chin, Shan, Kachin dan Kayin,” kata pernyataan Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti dikutip dari Anadolu Agency, Rabu (16/9).

Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) mengatakan hal tersebut dalam sebuah laporan terbaru yang akan dibahas pada sidang reguler ke-45 Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang dijadwalkan pada 14 September hingga 6 Oktober di kantor PBB di Jenewa.

"Tatmadaw tidak mengindahkan seruan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk gencatan senjata global dan sebaliknya, pada 26 Juni 2020, meluncurkan operasi pembersihan lainnya, di kota Rathedaung, yang memaksa ribuan warga sipil mengungsi," tulis laporan tersebut.

Laporan itu juga mencatat secara rinci pelanggaran yang terjadi di negara bagian lain di Myanmar.

“Sejak 2019, pertempuran antara Tatmadaw dan Tentara Arakan [pemberontak Buddha bersenjata] di negara bagian Rakhine dan Chin telah meningkat dalam skala dan keganasan, mengakibatkan kematian dan cedera serta penghancuran properti sipil dan objek sipil lainnya."

Laporan itu menuduh tentara Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap warga sipil bahkan di tempat-tempat di mana tidak ada Tentara Arakan yang dilaporkan.

Mengenai pemilihan umum sepihak yang akan datang di Myanmar yang ditetapkan akan digelar pada November ini, laporan itu mendesak para pejabat untuk memastikan agar mereka mengadakan pemilihan yang adil dan partisipatif.

Ini merujuk pada perampasan hak minoritas Rohingya di negara asal mereka dan merekomendasikan untuk mengubah Undang-Undang Kewarganegaraan 1928 yang kontroversial untuk menghapus hubungan antara etnis dan kewarganegaraan dan memulihkan kewarganegaraan Rohingya.

Selain itu, laporan tersebut juga mendesak kelompok etnis bersenjata di Myanmar untuk mengambil semua tindakan untuk mengakhiri permusuhan dan pelanggaran hukum humaniter internasional dan pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional.

Secara terpisah, Jaringan Hak Asasi Manusia Burma (BHRN), sebuah kelompok hak asasi yang berbasis di Inggris, menyerukan kepada komunitas internasional pada hari Senin (13/9) untuk mempromosikan konsekuensi atas kegagalan Burma daripada lebih banyak rekomendasi.

Merujuk pada pernyataan bersama baru-baru ini oleh delapan negara termasuk AS dan Inggris, pernyataan tersebut mengatakan, menggunakan nama lama untuk Myanmar: “Burma memiliki sejarah panjang dalam membahas bagaimana meningkatkan hak asasi manusia dan masalah demokrasi dengan komunitas internasional dan untuk keadilan selama telah berhasil melakukan kebalikan dari apa yang direkomendasikan. "

"Negara ini gagal sebagai negara demokrasi, menundukkan warganya pada operasi militer yang brutal, terus menyangkal kekejaman di masa lalu meskipun tentaranya sendiri sekarang berbicara tentang mereka dan tidak memiliki jalur yang layak untuk repatriasi yang adil bagi Rohingya," kata Eksekutif BHRN Direktur Kyaw Win. 

Berbicara kepada Anadolu Agency, dia menambahkan: “Burma memiliki sejarah panjang dalam mengulur waktu dan tidak melakukan apapun. Burma benar-benar mengabaikan seruan sekretaris jenderal PBB untuk berhenti berperang selama pandemi Covid-19. Oleh karena itu, sudah waktunya bagi Burma untuk menghadapi konsekuensi. ”

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang yang paling teraniaya di dunia, menghadapi ketakutan yang meningkat akan serangan sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.

Menurut Amnesty International, lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya, kebanyakan wanita dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017, mendorong jumlah mereka di Bangladesh di atas 1,2 juta.

Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24 ribu Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan negara Myanmar, menurut laporan dari Ontario International Development Agency (OIDA).

Lebih dari 34.000 Rohingya juga dilempar ke dalam api, sementara lebih dari 114 ribu lainnya dipukuli, kata laporan badan tersebut berjudul Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terungkap.

"Sebanyak 18 ribu wanita dan gadis Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115 ribu rumah Rohingya dibakar sementara 113 ribu lainnya dirusak," tambahnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA