Demikian pernyataan yang disampaikan oleh jurubicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah saat melakukan konferensi pers virtual pada Kamis (17/9).
"Saya ulangi. Normalisasi hubungan Israel-UEA dan Bahrain-Israel tidak akan mengubah posisi Indonesia tentang Palestina," ujarnya.
"Bagi Indonesia, penyelesaian isu Palestina perlu menghormati resolusi DK PBB terkait, serta parameter yang disepakati secara internasional, termasuk
two states solution," sambungnya.
Selain itu, Teuku juga menekankan, setiap inisiatif perdamaian yang dilakukan tidak boleh menggagalkan keputusan yang telah dibuat berdasarkan Arab Peace Initiative atau Inisiatif Perdamaian Arab pada 2002 dan resolusi Organisasi Kerja sama Islam (OKI).
Berdasarkan Inisiatif Perdamaian Arab, negara-negara Arab hanya dapat melakukan hubungan diplomatik dengan Israel setelah masalah Palestina terselesaikan.
Dalam hal ini, Israel harus mengembalikan tanah yang didudukinya dalam perang 1967, termasuk Dataran Tinggi Golan, Yerusalem Timur dan Tepi Barat kepada Palestina.
Teuku sendiri mengatakan, Indonesia memahami niat UEA dan Bahrain yang berusaha untuk mencari cara lain dalam melakukan negosiasi. Di mana kesepakatan itu diarahkan kepada upaya untuk memulai kembali proses multilateral yang kredibel.
"Namun efektifitas kesepakatan tersebut sangat bergantung pada komitmen Israel untuk menghormatinya," tekannya.
Pada 15 September 2020, Israel bersama dengan UEA dan Bahrain telah menandatangani kesepakatan damai yang difasilitasi oleh Amerika Serikat (AS) di Gedung PUtih.
Normalisasi hubungan antara Israel dan UEA diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump pada 13 Agustus. Sebulan kemudian, 11 September, normalisasi diikuti oleh Bahrain.
Sejauh ini, sudah ada empat negara Arab yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel, di antaranya Mesir pada 1979, Yordania pada 1994, UEA, dan Bahrain.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: