Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pakar: Meski Unggul Dalam Jajak Pendapat Sebaiknya Joe Biden Berkaca Pada Peristiwa Kekalahanan Hillary 2016

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Sabtu, 19 September 2020, 10:48 WIB
Pakar: Meski Unggul Dalam Jajak Pendapat Sebaiknya Joe Biden Berkaca Pada Peristiwa Kekalahanan Hillary 2016
Ilustrasi, pilpres AS 2020/Net
rmol news logo Dua bulan menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat (AS), pertarungan dua kubu kian terlihat jelas. Walau diprediksi akan berlangsung ketat, calon presiden (capres) Partai Demokrat asal Delware, Joe Biden, terlihat unggul dari sang petahana. Dalam sejumlah jajak pendapat, sang petahana Donald Trump tertinggal 8 bahkan 9 poin.

Pakar politik internasional Jerry Massie menyoroti bahwa kedua capres baik Donald Trump dari Partai Republik maupun dan Joe Biden dari Partai Demokrat terus menarik simpati publik lewat kampanye mereka, baik secara terbuka maupun secara tertutup dan virtual.

Namun, walau saat ini Biden berada di atas angin, Jerry menduga nasib Biden bisa saja tragis seperti Hillay Clinton. 

Pada pilpres 2016, Hillary Clinton memimpin pada sejumlah jajak pendapat dan memenangi hampir tiga juta suara lebih banyak ketimbang Trump.

Tapi, dia tetap kalah karena AS menggunakan sistem pemilihan electoral college sehingga meraih suara terbanyak tidak lantas menjamin seorang kandidat menang pilpres.

"Saya prediksi nasib Biden akan berakhir tragis seperti Hillary Clinton (pada Pilpres) 2016 silam. Kendati menang  popular votes selisih 2 juta suara, Clinton mendapat 63.964.956, sementara Presiden AS terpilih Donald Trump hanya 62.139.188 suara. Tetapi, toh, Hillary kalah juga di fase penentuan yakni electoral college," kata peneliti politik Amerika ini.

Barangkali kata dia, banyak yang belum tahu beberapa tahun silam mantan Menlu AS ini 6 kali dibantu Trump. Bahkan Trump pernah berafiliasi dengan Demokrat dan hampir saja di calonkan sebagai presiden beberapa tahun silam.

"Medsos salah satu kunci kemenangan Trump ada 2016 lalu, pasalnya followers-nya cukup besar yakni 60 juta pengikut," tutur Jerry.

Selain itu, ucapnya, faktor internal Trump, hal yang membuat banyak pihak tidak siap dengan kemenangan si pria oranye adalah poling-poling prediktif yang kebanyakan menunjuk Hillary akan menang pilpres.

Jerry juga memaparkan hasil poling sebelum pemungutan suara dari Economist/YouGov, Bloomberg, IBD, ABC, Fox News, Monmouth, CBS News, dan Reuters, di mana Hillary menang dengan selisih 1 sampai 6 persen.

"Sedangkan poling yang memenangkan raja real estate ini hanya LA Times yang menggungulkan Trump pada angka 5 persen," kata Direktur Political and Public Policy (P3S) Ini.

Jerry mengingatkan situsweb milik jurnalis data kawakan Nate Silver, Fivethirtyeight.com, mencatatkan probabilitas Hillary Clinton untuk menang ada pada angka 71,4 persen. Sedangkan probabilitas Trump hanya 28,6 persen saja.

Untuk popular vote, Hillary diperkirakan akan menang dengan selisih 3,6 persen dari Trump. Sementara, pada electoral vote, diperkirakan Hillay bakal menang dengan angka 302 lawan 235.

Hal-hal itu bila dikaitkan dengan peristiwa pemilihan saat ini, hampir sama persis, yang mana semua lembaga survey menjagokan Biden. Hanya Rasmussen yang menempatkan Trump unggul 1 poin. Sedangkan YouGove +9, USC +7, Reuters +9, Hill +6, News Fox +5, JTN/RMG +5, CNBC +6, Mounmouth +7 semua bagi kemenangan Biden.

Jerry pun menyebut, salah satu pakar David Schultz, Profesor Departemen Ilmu Politik dan Departemen Studi Hukum di Universitas Hamline mengatakan, hasil survei secara nasional sejatinya tidak terlalu berpengaruh pada hasil pemilihan Presiden Amerika Serikat AS. Karena hal yang terpenting adalah 270 electoral College bisa memenangkan kandidat capres. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA