Pasalnya, dalam UU Keamanan Nasional Hong Kong tersebut, terdapat aturan yang akan menghukum siapapun di Hong Kong yang mendorong pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing.
UU itu sendiri dibuat sebagai bentuk tanggapan atas gelombang protes pro-demokrasi yang terjadi di Hong Kong tahun 2019 lalu. Beijing diketahui mengecam keras gelombang protes yang sempat menggangu aktivitas ekonomi di wilayah pusat keuangan itu. Mereka menilai bahwa aksi tersebut sama dengan kekerasan dan upaya separatisme yang didukung pihak asing.
Dutabesar Republik Indonesia untuk RRT periode 2005-2009, Mayjen (Purn) Sudrajat, M.P.A. dalam webinar yang digelar oleh Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) bertajuk "Masa Depan Demokrasi Hong Kong Dalam Bayang-Bayang UU Keamanan Nasional Hong Kong" pada Selasa (22/9) menjelaskan bahwa UU Keamanan Nasional Hong Kong itu di satu sisi merupakan bukti mengenai keseriusan China dalam menghadapi ancaman instabilitas.
"Bagi China, stabilitas dan keamanan nasional adalah prioritas utama. China tidak akan memberikan celah dan isu independen Hong Kong adalah hal yang tabu dalam politik China," ujarnya.
Meski begitu, dia menilai bahwa jika melihat lebih dekat UU Keamanan Nasional Hong Kong yang diloloskan oleh China itu, sebenarnya China tidak melarang kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi warga Hong Kong.
UU tersebut hanya menegaskan mengenai empat batasan yang tidak boleh dilalui, yakni mendorong pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing.
"Sedangkan UU Keamanan Nasional Hong Kong yang baru itu tidak membatasi kebebasan berpendapat di luar empat hal tersebut," paparnya.
Meski begitu, memang tidak bisa ditampik bahwa UU Keamanan Nasional Hong Kong yang baru itu memicu pro-kontra dari banyak pihak maupun negara lain.
Bagi sebagian pihak, UU Keamanan Nasional Hong Kong tidak lebih dari pembuktian akan intervensi China yang kental di wilayah otonomi khusus tersebut. UU tersebut juga dianggap telah menyimpang dari prinsip "satu negara dua sistem" yang diterapkan di Hong Kong.
Memang sejak penyerahan kembali Hong Kong dari Inggris, China dilarang untuk ikut campur urusan Hong Kong. Namun pada kenyataannya, China melakukan intervensi dengan menempatkan orang-orang pro-Beijing di legislatif dan eksekutif di Hong Kong. Kepala Eksekutif Hong Kong saat ini, Carrie Lam juga dianggap pro-Beijing.
"Carrie Lam pernah menyebut bahwa dalam prinsip 'satu negara dua sistem', orang hanya ingat 'dua sistem'-nya saja, tapi lupa soal 'satu negara'," ujarnya.
Meski begitu, China memiliki sudut pandang lain mengenai UU Keamanan Nasional Hong Kong ini.
"Bagi China, UU Keamanan Nasional Hong Kong ini adalah instrumen 'satu negara dua sistem' demi menjaga stabilitas wilayah," ujarnya.
"Kebebasan berpendapat secara damai juga tidak dilarang. Tapi kalau sudah mengarah pada vandalisme dan merusak aset negara seperti sarana transportasi, fasilitas kesehatan, gedung pemeirntah apalagi sampai menyerukan kemerdekaan Hong Kong, ini sudah dianggap sebagai perbuatan yang mengancam," tandasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: