Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Duterte Blak-blakan Soal Hak Filipina Atas Laut China Selatan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Minggu, 27 September 2020, 01:19 WIB
Duterte Blak-blakan Soal Hak Filipina Atas Laut China Selatan
Presiden Rodrigo Duterte saat sidang umum PBB ke-75/repro
rmol news logo Sama seperti semua pemimpin bangsa, Presiden Filipina Rodrigo Duterte dituntut untuk melindungi bangsa dan negaranya. Namun, di tengah terjangan wabah virus corona yang telah memicu kejatuhan di hampir semua sektor, ketegangan geopolitik terus meningkat.

"Meningkatnya ketegangan tidak menguntungkan siapa pun," ujar Duterte. Setiap titik baru yang menyala, akan menimbulkan rasa takut yang  cenderung mencabik-cabik orang.

Dalam video yang direkam di Manila saat sidang umum PBB, Selasa (22/9) waktu New York, sebaris kalimat Duterte menjadi hal yang cukup menarik untuk mengibaratkan imbas dari ketegangan bagi rakyat di sebuah negara.

"Saat gajah berkelahi, rumputlah yang terinjak-injak rata," kata Duterte.

Konflik selalu dimulai dengan argumen. Kekuatan kata yang kemudian menjadi perang kata, adalah penyulut perang yang sesungguhnya.
 
Seperti kata Duterte, "Mengingat ukuran dan kekuatan militer para pesaing, kita hanya bisa membayangkan dan terkejut dengan korban jiwa yang mengerikan dan harta benda yang akan ditimbulkan jika 'perang kata' memburuk menjadi perang senjata nuklir dan rudal yang sesungguhnya."

Duterte secara terbuka, dalam tayangan rekaman video itu, mengungkapkan agar semua negara tidak perlu saling membenci di saat semua tengah mengalami hal yang sama: jatuh karena pandemik.

"Karena itu saya menyerukan kepada para pemangku kepentingan di Laut China Selatan, Semenanjung Korea, Timur Tengah, dan Afrika: jika kita belum bisa berteman, maka atas nama Tuhan, janganlah kita terlalu membenci satu sama lain. Saya pernah mendengar hal ini, maka pun mengatakannya kepada diri saya sendiri."

Saat ini, setiap negara memiliki urgensi yang sama yang diperlukan untuk memerangi Covid-19 untuk mengatasi krisis iklim. Ini adalah tantangan global yang telah memperburuk ketidaksetaraan dan kerentanan yang ada dari dalam dan antar negara.

Perubahan iklim telah memperburuk kerusakan akibat pandemi, menurut Duterte.

"Orang-orang di negara berkembang seperti Filipina paling menderita. Kita tidak bisa lebih menderita," tegasnya.

Dengan itu pula, Duterte secara blak-blakan mengungkapkan sikapnya untuk sengketa Laut China Selatan.

Ia mengatakan bahwa Filipina memiliki hak atas sebagian Laut China Selatan yang dinyatakan oleh keputusan Den Haag berada dalam zona ekonomi eksklusif negara itu.

Dalam pidato rekaman yang diunggah pada laman resmi PBB, Duterte menegaskan kembali hasil dari kasus yang dikeluarkan oleh Pengadilan Permanen Arbitrase (PCA) di Den Haag.

Pada bagian ini, Duterte mendapat banyak dukungan atas pernyataannya. Di depan para peserta sidang PBB, ia menyerukan putusan arbitrase tahun 2016 yang membatalkan klaim teritorial China di Laut China Selatan.

"Kemenangan (di pengadilan tribunal 2016) sekarang menjadi bagian dari hukum internasional, melampaui kompromi dan di luar jangkauan pemerintah yang lewat untuk mencairkan, mengurangi, atau mengabaikan. Kami dengan tegas menolak upaya pihak-pihak yang akan merusaknya," ujar Duterte.

Ini adalah penampilan pertama Duterte pada sidang umum PBB selama ia menjabat presiden Filipina.

Mengutip beberapa uraian media, banyak yang menilai bahwa pernyataan Duterte tentang sengketa Laut China Selatan dipandang sebagai yang terkuat sejauh ini. Sebelumnya, Filipina dianggap meremehkan masalah tersebut sebagai imbalan atas hubungan geopolitik dan ekonomi Manila yang lebih dekat dengan Beijing.

Selama dekade terakhir, China telah membangun instalasi militer di beberapa terumbu dan singkapan yang disengketakan di Laut China Selatan untuk menegaskan klaimnya atas hampir seluruh laut, seperti dilaporkan ABC, Kamis (24/9).

Duterte melanjutkan pidatonya soal PBB yang ia pandang sebagai organisasi esensial umat manusia.

"Untuk tujuan ini, kami mendedikasikan kembali diri kami pada multilateralisme. PBB tetap menjadi organisasi esensial umat manusia. Tapi itu hanya seefektif yang kita buat," ujar Duterte.

Menurutnya, untuk membuat perubahan signifikan, semua orang harus berani.
"Kami membutuhkan keberanian kolektif yang sama yang akhirnya membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi kenyataan 75 tahun yang lalu. Mari kita berdayakan PBB -reformasinya- untuk menghadapi tantangan hari ini dan besok," tutup Duterte. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA