Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

AS Siap Terbangkan Drone MQ-9 Pembunuh Jenderal Qassem Soleimani Ke Laut China Selatan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Rabu, 30 September 2020, 07:29 WIB
AS Siap Terbangkan Drone MQ-9 Pembunuh Jenderal Qassem Soleimani Ke Laut China Selatan
Drone MQ-9 Reaper /Net
rmol news logo Setelah berhasil memimpin pembicaraan damai dengan penandatanganan Perjanjian Abraham yang bersejarah, Presiden AS Donald Trump tidak meninggalkan kebutuhan bisnisnya untuk merayu para pengkritiknya sebelum pemilihan November mendatang.

Dalam upayanya untuk mendapatkan lebih banyak momentum sebelum berhadapan dengan Joe Biden, Trump berencana mengguncang Laut China Selatan dengan bersiap menyebarkan drone MQ-9 Reaper yang mematikan di wilayah tersebut. Sebuah langkah yang telah membuat marah pemerintah China.

Sebelumnya, para ahli militer di Beijing menganalisa, mengingat pemilihan AS yang akan datang di mana Donald Trump tampaknya tertinggal, kemungkinan Trump dan kroninya akan mengambil langkah fatal dan memprovokasi konflik bersenjata dengan China di Laut China Selatan sebelum November tahun ini.

MQ-9 Reapers adalah jenis drone spesialis pemburu dan pembunuh yang sejauh ini telah digunakan untuk memerangi pemberontak di Irak, Afghanistan, dan Afrika, dan sekarang sedang diprogram ulang untuk operasi maritim, menurut pejabat militer AS.

Drone mematikan buatan AS itu telah berhasil melakukan beberapa pembunuhan terhadap para pejabat tinggi. Salah satu yang paling terkenal ialah saat drone tersebut berhasil menembak mati komandan tertinggi Iran Mayor Jenderal Qassem Soleimani di Baghdad pada Januari lalu.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Morgan Ortagus, pada hari Minggu (27/9) mengeluarkan pernyataan yang mengecam pengejaran Beijing atas 'militerisasi sembrono dan provokatif' di pulau-pulau Nansha atau Spratly yang disengketakan di wilayah Laut China Selatan.

"Amerika Serikat akan terus berdiri bersama sekutu dan mitra Asia Tenggara kami dalam melawan upaya koersif China untuk membangun dominasi atas Laut China Selatan," kata Ortagus, seperti dikutip dari Eurasian Times, Selasa (29/9).

Sebuah spekulasi tersebar luas bahwa drone tersebut akan memantau perkembangan di wilayah tersebut dan bahkan siap mengambil target jika diperlukan. 

Letnan Kolonel Brian Davis, Komandan Skuadron Serangan ke-29 di Pangkalan Angkatan Udara Holloman, New Mexico, mengatakan tiga drone Reaper telah mendukung Angkatan Laut dan Korps Marinir selama latihan Agile Reaper yang dimulai pada Kamis (3/9)  dan berakhir pada Selasa (29/9) kemarin.

“Fokus utama kami adalah melawan pemberontakan. Itu bukan lagi batas dari apa yang bisa kami lakukan, "kata Davis.

Drone tersebut telah melakukan dukungan udara jarak dekat, pencarian dan penyelamatan, interdiksi maritim, koordinasi serangan dan pengintaian serta pengawasan selama latihan untuk mempersiapkan konflik dengan musuh terdekat seperti China dan Rusia.

"Kami hanya mencoba kemampuan MQ-9. Kami sedang bertransisi ke kemampuan untuk menghasilkan kekuatan udara tempur di mana saja untuk memasukkan domain maritim,  dan kami secara taktis cukup ahli dalam hal itu," kata Davis

Surat kabar harian yang berbasis di Beijing di bawah naungan Partai Komunis China (PKC), Global Times, mengeluarkan sebuah peringatan kepada AS.

“Apa pun kaitan antara pesan-pesan ini, kita harus memperingatkan pihak AS: menyerang Kepulauan Nansha China atau target China lainnya dengan menggunakan drone MQ-9 Reaper, adalah tindakan perang. Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) pasti akan melawan, menyebabkan militer AS harus membayar mahal,” kata Global Times dalam tajuk rencananya.

Awal tahun ini, AS telah mengeluarkan pernyataan yang menolak kedaulatan China dan hak maritim atas pulau Nansha (Spratly) di Laut China Selatan. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo telah mengecam klaim China di Kepulauan Spratly yang disengketakan di Laut China Selatan, dengan mengatakan bahwa Beijing tidak memiliki dasar hukum untuk secara sepihak memaksakan kehendaknya di wilayah tersebut.

Sudah lama beredar spekulasi yang mengatakan bahwa pemerintahan Trump akan mengambil langkah yang mungkin meningkat menjadi konflik bersenjata antara kedua wilayah sebelum pemilihan.

Spekulasi tersebut mengatakan bahwa pemerintahan Trump mungkin mencoba untuk meningkatkan kampanye pemilihan kembali mereka dengan menciptakan krisis militer.

"Tetapi menggunakan drone untuk menyerang sasaran Tiongkok adalah perang nyata, kejahatan perang yang menghancurkan perdamaian. Pemerintahan Trump tidak dapat mengharapkan China untuk berkoordinasi dengannya. Bagi China, itu adalah invasi dan agresi perang. Satu-satunya pilihan kami adalah menyerang keras para penyerang dan mengajari mereka pelajaran yang tidak akan pernah mereka lupakan," tulis Global Times.

Dalam ulasan tersebut media itu juga menulis bahwa China akan menembak jatuh pesawat tempur AS yang masuk, tidak peduli mereka berawak ataupun tidak. Jika pesawat itu benar-benar menyebabkan kerusakan pada pulau-pulau dan terutmbu karang di China dan akan menyerang platform serta pangkalan tempat pesawat itu lepas landas.

"Kepulauan Nansha hanya memiliki sejumlah kecil senjata pertahanan. Jika mereka diserang, pulau-pulau itu selanjutnya perlu diubah menjadi pangkalan militer yang beroperasi penuh untuk melawan ancaman serius terhadap mereka." kata Global Times. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA