Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Macron Umumkan Undang-undang Baru Cegah Separatisme Islam Di Prancis

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Sabtu, 03 Oktober 2020, 08:43 WIB
Macron Umumkan Undang-undang Baru Cegah Separatisme Islam Di Prancis
residen Prancis Emmanuel Macron/Net
rmol news logo Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan sebuah rencana kontroversial pada hari Jumat (2/10), yakni memulai perang melawan apa yang disebut 'separatisme Islam' di negara itu.

Separatisme Islam dipandang sebagai masalah serius bagi pemerintah Prancis, negara yang dikenal sangat terikat dengan sekularisme.

Presiden Emmanuel Macron pada Jumat (1/10) mengumumkan undang-undang yang menentang 'separatisme' agama yang bertujuan untuk membebaskan Islam di Prancis dari pengaruh asing.

Macron mengatakan dalam pidatonya di kota Les Mureaux bahwa Islam adalah agama yang 'mengalami krisis di seluruh dunia'.  Ia pun memerinci rencana undang-undang untuk mendorong bentuk Islam yang sesuai dengan apa yang disebutnya 'nilai-nilai Republik'.

Macron bahkan menggambarkan Islam sebagai agama yang mengalami krisis di seluruh dunia saat ini, saat ia memfokuskan pidato utamanya pada pertempuran melawan radikalisme Islam di Prancis, seperti dikutip dari French24, Jumat (1/10).

"Islam di Prancis harus dibebaskan dari pengaruh asing," katanya, seraya menjanjikan adanya peningkatan pengawasan terhadap kegiatan masjid.

Macron mengklaim bahwa beberapa orang tua Muslim tidak mengizinkan anak-anak mereka menghadiri kelas musik atau pergi ke kolam renang di sekolah, atau bahwa hijab dan kerudung tidak boleh dipakai di dalam sekolah.

"Sekolah akan di bawah kendali ketat dan 'pengaruh asing' tidak akan ditoleransi di Prancis," katanya. Menambahkan bahwa mereka akan bekerja sama dengan Dewan Agama Muslim Prancis (CFCM).

Selain itu, Prancis tidak akan mengizinkan para imam dari Turki, Maroko, Aljazair, atau negara lain untuk bekerja di negara itu mulai tahun 2024. Sebaliknya, para imam dari komunitas Muslim akan diwajibkan untuk menerima pelatihan di Prancis dan memperoleh sertifikasi.

Macron berpendapat bahwa rencana tersebut bertujuan untuk membela republik dan nilai-nilainya dengan menjaga agama di luar pendidikan dan sektor publik.

"Undang-undang penting tahun 1905 tentang sekularisme mengizinkan orang untuk menganut agama apa pun yang mereka pilih, tetapi penampilan luar dari afiliasi keagamaan dalam keadaan apa pun tidak diizinkan di sekolah atau layanan publik," kata Macron, seperti dikutip dari AFP, Jumat (2/10).

"Sekularisme adalah semen dari persatuan Prancis," tegas Macron, sambil menambahkan: "Janganlah kita jatuh ke dalam perangkap yang dipasang oleh ekstremis, yang bertujuan untuk menstigmatisasi semua Muslim."

Presiden Prancis berulang kali menekankan pentingnya sekolah dalam menanamkan nilai-nilai sekuler pada kaum muda, dan mengatakan bahwa pemerintah akan mewajibkan sekolah swasta untuk setuju mengajar mereka.

Macron mengakui bahwa negara Prancis ikut bertanggung jawab atas 'ghettoisasi' komunitas dengan sejumlah besar penduduk Muslim, mengatakan bahwa organisasi non-sekuler telah berusaha untuk menebus kegagalan dari kebijakan integrasi.

Macron juga mengatakan bahwa masa kolonial Prancis, termasuk kolonisasinya di Aljazair, meninggalkan bekas luka pada masyarakat yang terkadang berjuang untuk mengintegrasikan komunitas imigran dari bekas koloni.

“Kami belum mengungkap masa lalu kami. Kami memiliki kakek-nenek yang telah menularkan bekas luka mereka pada anak-anak mereka," katanya.

Pidato Macron di Les Mureaux, barat laut Paris, muncul tujuh bulan setelah dia mengumumkan bahwa pemerintahnya akan berusaha memerangi 'campur tangan asing' dalam praktik Islam dengan mengakhiri program yang memungkinkan negara-negara untuk mengirim imam dan guru ke Prancis. 

“Masalah muncul ketika, atas nama agama, beberapa ingin memisahkan diri dari Republik dan karena itu tidak menghormati hukumnya,” kata Macron dalam pidatonya pada 18 Februari lalu di kota Mulhouse, Prancis timur .

Prancis dalam beberapa tahun terakhir telah dipaksa untuk melihat dengan seksama nilai-nilai inti republik, yang dianggap oleh banyak orang terancam oleh Islam radikal setelah serangkaian serangan teror yang menargetkan kebebasan sekuler seperti kebebasan berekspresi.

Pidato hari Jumat (2/10) muncul saat persidangan sedang berlangsung di Paris atas serangan mematikan Januari 2015 terhadap surat kabar satir Charlie Hebdo dan supermarket halal oleh ekstremis Islam kelahiran Prancis. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA