Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perjuangan Keras Anak-anak Venezuela Demi Belajar Online, Harus Keliling Kota Untuk Cari Sinyal

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Sabtu, 17 Oktober 2020, 12:17 WIB
Perjuangan Keras Anak-anak Venezuela Demi Belajar Online, Harus Keliling Kota Untuk Cari Sinyal
Anak-anak di sekolah negeri Don Felipe Zambrano di Seboruco, Venezuela/Net
rmol news logo Hadirnya pandemik Covid-19 telah memaksa hampir seluruh sekolah di penjuru dunia untuk melakukan pembelajaran jarak jauh. Salah satu yang kendala paling sering dikeluhkan dalam proses PJJ adalah sinyal yang tidak stabil, terutama di negara-negara dengan koneksi internet yang lambat.

Itu yang dialami Jonathan Figueroa seorang bocah dari Venezuela. Sambil mengacungkan ponselnya, Figueroa duduk di depan pintu rumahnya dalam pencarian harian yang membuatnya putus asa untuk mendapatkan sinyal Wifi hanya untuk mengunduh pekerjaan rumahnya.

Dipukul oleh pandemi dan keruntuhan ekonomi, generasi anak sekolah Venezuela yang hilang memiliki sedikit kesempatan untuk terhubung secara teratur dengan kelas online mengingat cakupan internet yang berubah-ubah di negara itu.

Anak berusia 14 tahun itu bahkan tidak mendapatkan kemewahan kelas virtual di sekolahnya di distrik miskin Caracas, di mana harga komputer tidak terjangkau oleh sebagian besar keluarga di sana.

Sebaliknya, sedikit interaksi yang dia lakukan dengan guru hanya terbatas pada pesan suara dan tugas yang disampaikan via aplikasi berbagi pesan WhatsApp.

"Ini rumit. Terkadang saya tidak mengerti apa-apa," kata Jonathan, seperti dikutip dari AFP, Sabtu (17/10).

Dalam beberapa hal, dia termasuk yang beruntung, karena majikan ibunya memberinya tablet bekas.

Namun di tengah pemadaman listrik rutin dan ketersediaan internet secara acak, Jonathan merasa kewalahan dan semakin terasing dari lingkungan sekolahnya.

"Saya tidak hanya mengerjakan pekerjaan rumah dengan buruk, tapi saya juga membuang-buang waktu," katanya.

Lebih buruk lagi, Jonathan dan ibunya Viviana - yang berbagi kamar sewaan pokey di distrik miskin - sempat tertular virus corona pada Juli.

Secara resmi, sekitar 85 ribu kasus Covid-19 telah terdeteksi di Venezuela, dengan lebih dari 700 kematian terkait dengan penyakit tersebut. Angka-angka itu mendapat tentangan dari pihak oposisi dan beberapa LSM, yang mengklaim angka sebenarnya jauh lebih tinggi.

"Kami terjangkit Covid-19, dan kemudian Tuhan ingin kami mengenal beberapa orang," kata Viviana, mengenang solidaritas tetangga yang membawakan mereka makanan dan air saat dia dan anaknya memulihkan kekuatan mereka.

Koneksi internet Venezuela termasuk yang paling lambat di dunia, dan krisis ekonomi berkepanjangan telah memperparah itu. Sebuah survei oleh situs Speedtest pada bulan Agustus memberi peringkat negara Amerika Selatan itu 169 dari 174 negara dalam kecepatan broadband.

Lain cerita dengan kisah yang hampir sama dialami Dokter Luzmar dan Francisco Rodriguez. Keberadaan mereka di daerah kelas menengah Caracas tempat mereka tinggal seharusnya cukup untuk memungkinkan anak-anak mereka mengambil kelas online sekolah swasta mereka.

Namun sebaliknya, para orang tua seringkali harus berkeliling Caracas untuk mencari sinyal wifi yang sulit ditemukan.

"Anda membelikan mereka komputer, printer, internet, laptop dan karena sesuatu yang sepele seperti hujan, tidak ada lagi yang berfungsi," kata Luzmar.

Putra tertua mereka Francisco terhubung ke sekolahnya baru-baru ini dari tempat parkir mobil di luar apotek, di mana keluarganya berhasil menemukan sinyal.

Ketika Francisco harus mengikuti ujian, Luzmar mengatakan dia tidak pergi bekerja karena harus mengantar anaknya berkeliling Caracas untuk mencari sinyal.

Di sisi lainnya, guru juga mengalami frustrasi. Pada bulan September, saat tahun ajaran baru dimulai, beberapa dari mereka bahkan turun ke jalan dan melakukan pemogokan karena menuntut upah yang layak.

Morelis Carruido, yang mengajar sejarah dan geografi di sekolah negeri Caracas, mengatakan hiperinflasi yang mengejutkan berarti gajinya setara dengan 2,50 dolar AS sebulan.

"Saya harus menjahit, merajut, menyiapkan kue, memasak ... singkatnya, apa pun yang membuat saya terus berusaha" untuk memenuhi kebutuhan, kata Carruido kepada AFP.

Menurut Jose Gregorio Castro, kepala sekolah di sekolah menengah tempat Carruido mengajar, ada lebih dari 70 persen siswanya tidak memiliki internet.

"Beberapa bahkan tidak punya bensin. Mereka memasak di atas api kayu," tambah Carruido.

"Bagaimana mereka bisa maju melalui pendidikan online jika mereka tidak punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan paling dasar mereka?" rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA