Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dua Kemungkinan Resolusi Konflik Untuk Afghanistan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Senin, 19 Oktober 2020, 18:20 WIB
Dua Kemungkinan Resolusi Konflik Untuk Afghanistan
Wakil Dekan FISIP UIN Jakarta, Badrus Sholeh Ph.d dalam program mingguan RMOL World View/RMOL
rmol news logo Hampir dua dekade sejak kampanye War on Teror dilancarkan oleh Amerika Serikat di Afghanistan. Selama itu pula lah, konflik dan kekerasan menjadi 'wajah' yang umum terjadi di tanah Afghanistan. Korban yang paling dirugikan tidak lain adalah warga Afghanistan yang tidak bersalah.

Terlebih, konflik di Afghanistan juga berimbas pada masalah ekonomi.

"Rakyat Afghanistan bosan dengan perang. Mereka sangat bosan dengan kondisi ekonomi yang tidak kunjung maju dan kemiskinan. Belum lagi kekerasan yang masih timbul di banyak tempat," kata Wakil Dekan FISIP UIN Jakarta, Badrus Sholeh Ph.d dalam program mingguan RMOL World View bertajuk "Indonesia Untuk Afghanistan Yang Damai" yang diselenggarakan oleh Kantor Berita Politik RMOL.ID pada Senin (19/10)

Namun tahun ini agaknya titik terang untuk masa depan Afghanistan yang damai pun muncul. Hal itu diawali dengan pembicaraan yang dijalin oleh Taliban dengan Amerika Serikat di Doha pada Februari lalu dan disusul dengan dialog antara Taliban dan pemerintah Afghanistan pertengahan September lalu.

Sayangnya, jalan menuju perdamaian yang diimpikan tidak mulus. Masih banyak perbedaan yang masih belum diselesaikan di atas meja perundingan.

"Prinsip-prinsip kedua belah pihak masih belum menyatu. Salah satunya adalah, Taliban ingin agar mereka mulai dari kesepakatan Februari lalu yang dilakukan dengan Amerika Serikat. Sedangkan pemerintah Afghanistan menginginkan jalur kesepakatan awal dan menginginkan adanya garansi dari Taliban untuk tidak melakukan kekerasan," jelas Badrus.

Dia menjelaskan bahwa setidaknya ada dua resolusi konflik yang mungkin bisa diambil oleh kedua belah pihak.

"Kedua belah pihak ingin bisa bertemu dalam wujud perdamaian Afghanistan. Tinggal bagaimana menuju ke sana. Apakah dengan power sharing, seperti yang didorong oleh Amerika Serikat, atau melaksanakan pemilu terbuka," paparnya.

Power sharing, jelas Badrus, adalah salah satu bentuk resolusi konflik di mana dua kelompok yang bertikai diberi kesempatan untuk memimpin.

"Taliban bisa membentuk civil society yang kuat. Saya kita juga mereka cukup kuat jika akan membentuk partai politik, entah apa namanya. Tapi mereka menunju ke sana," sambung Badrus.

"Sebagai kekuatan terbesar kedua di Afghanistan, Taliban kuat dan siap untuk masuk ke dalam contesting democracy untuk bersaing dengan pemerintah," tambahnya.

Namun opsi lain yang juga bisa ditempuh adalah dengan demokratisasi melalui pemilu yang terbuka,

"Jika memilih demokratisasi melalui pemilu terbuka, maka pemerintah Afghanistan harus melaksanakannya dengan transparan dan menghadirkan monitoring internasional agar Taliban bisa menerimanya," demikian Badrus. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA