Hal itu dialami juga oleh salah seorang warga bernama Marima Wadisha, ibu tunggal yang harus menghidupi sepuluh anaknya sendirian. Setiap hari dia harus berteriak, melemparkan batu, bahkan menembakkan peluru ke arah belalang yang turun di ladang sorgumnya di timur laut Ethiopia.
Tetapi kawanan serangga itu begitu ganas sehingga seluruh tanamannya, yang menjadi satu-satunya sumber pendapatan keluarganya, hancur.
“Mereka tidak pernah pergi selama seminggu. Mereka membuat kami mengalami gagal panen, kami mengencangkan ikat pinggang dan menangis siang-malam. Bagaimana bisa (saya) memberi makan anak-anak saya seperti ini,” katanya, dikelilingi oleh lima anaknya sambil memegang seikat sorgum yang rusak, seperti dikutip dari
Reuters, Selasa (20/10).
Badan pangan PBB FAO mengatakan bahwa invasi belalang yang terjadi kali ini adalah yang terburuk di Ethiopia dalam 25 tahun terakhir.
Serangan belalang telah merusak sekitar 200 ribu hektar lahan di sana sejak Januari, mengancam pasokan makanan dan mata pencaharian jutaan orang.
"Tantangan terbesar sekarang di kawasan ini ada di sini, di Ethiopia, dan kami sedang mengerjakannya bersama dengan mitra kami seperti FAO," kata Direktur Afrika Timur Desert Locust Control Organization untuk Afrika Timur Stephen Njoka.
Akibat konflik dan kekacauan yang terjadi di Yaman, tempat beberapa kawanan belalang berasal, penyemprotan pestisida dengan pesawat menjadi tidak mungkin. Ditambah lagi dengan hujan lebat yang luar biasa, membuat jumlah kawanan belalang semakin membengkak dan menyebar di seluruh Ethiopia.
Bank Dunia mengatakan, serangga tersebut dapat merugikan Afrika Timur dan Yaman sebesar 8,5 miliar dolar AS tahun ini. Perwakilan FAO dari Ethiopia, Fatouma Seid, khawatir pola kerusakan akan terulang tahun depan.
"Infestasi akan berlanjut hingga 2021. (Bisa jadi) kami diserang kembali dan kawanan itu kemudian akan terbang pindah ke Kenya," katanya.
BERITA TERKAIT: