Yang terbaru, jajak pendapat yang dilakukan stasiun televisi
Fox News memperkirakan Biden unggul delapan poin di atas Trump dengan persentase perolehan suara 52 persen banding 44 persen.
Namun, di sisi lain, berbagai hasil survei seperti tersebut bukan bekal yang cukup untuk memprediksi hasil pemilihan presiden Amerika Serikat. Perlu diingat bahwa pemilihan presiden Amerika Serikat tidak seperti di Indonesia yang menerapkan sistem one man one vote.
Pemilu di negeri Paman Sam tidak menggunakan pemilihan langsung di mana suara setiap warganegara memiliki nilai yang sama. Amerika Serikat yang didirikan oleh kaum aristokrat dari masing-masing negara bagian menggunakan
electoral college, kelompok electors, di masing-masing negara bagian yang menentukan siapa calon presiden yang menang.
Adapun suara warganegara yang memilih hanya dibutuhkan untuk menentukan pasangan capres-cawapres dari partai apa yang menang di satu negara bagian. Sementara itu jumlah suara
electoral college yang dimiliki masing-masing negara bagian tidak sama. Beberapa negara bagian memiliki jumlah
electoral college besar, sebagian lagi kecil.
"Artinya, rakyat Amerika Serikat bukan menjadi pihak yang paling menentukan siapa yang akan memimpin negara mereka,†kata pengamat politik internasional Teguh Santosa dalam diskusi virtual bertajuk "Pemilu AS dan Masa Depan Politik Global" yang diselenggarakan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada Sabtu malam (31/10).
Menurut Teguh, meski dalam sejumlah survei Biden tampak unggul, namun mantan Wakil Presiden AS itu tampaknya tidak membawa euforia yang cukup besar untuk bisa mengungguli pesaingnya, sang petahana Donald Trump.
"Saya bandingkan dengan pilpres 2008, saat Barack Obama pertama kali maju sebagai calon presiden dari Partai Demokrat. Saat itu ada euforia yang sangat besar," ujar Teguh.
Euforia yang besar juga terjadi pada pilpres 2016 di mana Hillary Clinton maju sebagai calon presiden dari Partai Demokrat. Ketika itu Hillary Clinton berpeluang besar menjadi presiden wanita pertama di Amerika Serikat.
"Meski membawa euforia yang besar dan survei-survei yang muncul mengunggulkannya, tapi begitu perhitungan suara, banyak orang tepuk jidat (Hillary Clinton dikalahkan oleh Donald Trump),†paparnya.
"Nah hari ini Biden tidak menawarkan euforia dibandingkan dengan Hillary Clinton yang berpotensi menjadi presiden wanita pertama, apalagi jika dibandingkan dengan Obama,†sambung Teguh yang juga merupakan Dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Merujuk pada hal tersebut, bila Joe Biden dianggap tidak membawa euforia berarti, masih ada kemungkinan Trump akan kembali terpilih kembali.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: