Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kemenangan Telak Petahana Ouattara Jadi Sengketa, Oposisi Pantai Gading Siap Bentuk Pemerintah Tandingan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Kamis, 05 November 2020, 09:36 WIB
Kemenangan Telak Petahana Ouattara Jadi Sengketa, Oposisi Pantai Gading Siap Bentuk Pemerintah Tandingan
Para pendukung Alassane Ouattara /Net
rmol news logo Pantai Gading baru saja usai melaksanakan pemilihan presiden dengan kemenangan telak yang diraih oleh petahana Alassane Ouattara dengan angka telak 94 persen pada Selasa (3/11) waktu setempat.

Namun, kemenangan Outtara dijegal oleh pihak oposisi yang mengatakan bahwa kemenangan Outtara tidak dapat diterima. Pemerintah kemudian menuduh oposisi ‘berkomplot’ terhadap negara setelah berjanji untuk membentuk pemerintah saingan.

Kebuntuan tersebut membuat negara Afrika Barat itu semakin terjerembab ke dalam krisis tiga bulan yang telah merenggut belasan nyawa nyawa dan memicu seruan Uni Eropa untuk ketenangan dan dialog.

Komunitas Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS), Uni Afrika dan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa (3/11) menyerukan kepada pihak oposisi untuk “menghormati tatanan konstitusional” dan untuk “mendukung jalan dialog”.

Mereka juga menyerukan kepada semua pihak untuk mengendalikan diri.

Beberapa jam setelah Ouattara yang saat ini berusia 78 tahun itu dinyatakan menang,  Menteri Kehakiman Sansan Kambile menuduh pihak oposisi melakukan “tindakan penyerangan dan komplotan melawan otoritas negara.”

Penuntut umum Abidjan telah diminta untuk menyelidiki, kata Kambile, seraya memperingatkan bahwa 'semua opsi ada di meja'.

Sementara itu pemimpin oposisi Pascal Affi N'Guessan mengatakan kepada wartawan pada Senin (2/11) malam waktu setempat bahwa partai dan kelompok oposisi sedang membentuk ‘dewan transisi nasional’.

“Misi dewan ini adalah untuk menciptakan pemerintahan transisi dalam beberapa jam mendatang,” kata N'Guessan, seperti dikutip dari AFP, Selasa (4/11).

Tujuannya, kata dia, “menyiapkan kerangka kerja pemilu presiden yang adil, transparan, dan inklusif”.

Sebelumnya, kekalahan Ouattara dalam pemungutan suara hari Sabtu telah diperkirakan secara luas oleh oposisi- dua pemimpin oposisi telah menyerukan boikot pemungutan suara dan kampanye pembangkangan sipil.

Tetapi protes dan bentrokan berdarah juga telah membangkitkan kenangan traumatis tentang krisis satu dekade lalu yang mencabik-cabik negara dan menyebabkan kerusakan ekonomi yang berkepanjangan. Sekitar 3.000 orang tewas setelah presiden saat itu Laurent Gbagbo menolak untuk menerima kekalahan dari Ouattara kala itu.

N'Guessan Senin malam mengatakan ‘dewan transisi’ akan dipimpin oleh veteran oposisi Henri Konan Bedie, 86, mantan presiden dan musuh jangka panjang Ouattara.

“Mempertahankan Tuan Ouattara sebagai kepala negara dapat menyebabkan perang saudara,” katanya.

Wartawan AFP melaporkan bahwa di Abidjan, pasukan keamanan memblokir jalan-jalan di dekat vila Bedie. Mereka menembakkan gas air mata untuk membubarkan sekelompok kecil pendukung dan jurnalis di luar vila, mencegah diadakannya konferensi pers yang diadakan untuk menindaklanjuti pengumuman Senin malam.

Sementara itu di Daoukro, yang jadi markas kubu oposisi, pengunjuk rasa anti-Ouattara membentuk barikade.

“Hasil ini hanya lelucon,” kata salah satu pendemo yang menyebut namanya Firmin. “Kami akan melanjutkan pembangkangan sipil sampai Ouattara mundur.”

Sebaliknya, para pendukung Ouattara menyanyikan pujiannya, mengatakan bahwa dia telah berusaha untuk mengakhiri ketidakstabilan negara produsen kakao terbesar dunia itu dan menghidupkan kembali ekonominya yang terpukul.

“Dia telah bekerja keras untuk negara. Dia harus melanjutkan, tidak hanya untuk kami, tetapi untuk anak-anak kami,” kata Hamed Dioma, seorang pekerja besi tua di sebuah distrik terpencil di Abidjan.

Kemarahan yang dipicu oleh pencalonan kembali Ouattara untuk masa jabatan ketiga telah menghidupkan kembali ingatan akan perseteruan masa lalu yang sebagian besar tidak menemukan titik damai setelah perang saudara tahun 2002 memecah negara menjadi dua.

Tiga puluh orang tewas dalam bentrokan sebelum pemungutan suara hari Sabtu, seringkali antara kelompok etnis lokal yang bersekutu dengan oposisi dan komunitas Dioula yang dianggap dekat dengan Ouattara, seorang Muslim dari utara. Setidaknya sembilan lainnya telah tewas sejak itu.

Di Jenewa, badan pengungsi PBB mengatakan lebih dari 3.200 orang telah melarikan diri ke negara tetangga Liberia, Ghana dan Togo, karena takut terjadi kekerasan.

Krisis adalah ujian lain bagi wilayah di mana Guinea terperosok dalam sengketa pasca-pemilihannya sendiri, Nigeria sedang bangkit dari kerusuhan yang meluas, dan Mali menghadapi kudeta.

Tak tinggal diam, Uni Eropa dengan sigap mendesak ketenangan menyusul pengumuman hasil pemilu.

Kepala diplomasi Uni Eropa Josep Borrell mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan "keprihatinan mendalam atas ketegangan, provokasi dan hasutan untuk kebencian dan menyerukan agar kekerasan "diselidiki secara independen."

"UE mengharapkan semua pemangku kepentingan untuk memimpin dalam meredakan iklim dan melanjutkan dialog dan mempromosikan rekonsiliasi," katanya

Sebuah misi dari pengawas AS Carter Center mengatakan "keseluruhan konteks dan proses tidak memungkinkan untuk pemilihan yang benar-benar kompetitif," tetapi tim pengamat Uni Afrika mengatakan pemungutan suara itu "secara umum memuaskan".

Ouattara mengatakan setelah masa jabatan keduanya dia berencana memberi jalan bagi generasi baru.

Namun,  kematian mendadak penggantinya yang dipilih pada bulan Juli mendorongnya untuk mencalonkan diri kembali untuk masa jabatan ketiga. Dia mengatakan keputusan pengadilan konstitusional menyetujui langkahnya, memungkinkan dirinya untuk mengatur ulang batas masa jabatan presiden.

Ketika Pantai Gading muncul dari perang saudara setelah 2002, negara itu terpecah menjadi dua, utara dikuasai oleh pemberontak dan selatan oleh pasukan presiden Gbagbo saat itu.

Ouattara memenangkan pemilu yang ditunda lama pada tahun 2010 meskipun Gbagbo menolak untuk menerima kekalahan dan Abidjan menjadi medan pertempuran.

Pasukan Prancis akhirnya turun tangan untuk membantu loyalis Ouattara menggulingkan mantan presiden tersebut. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA